20 Februari 2011

Palsu yang Menjadi Nyata

"Jika terhempas di lautan duka, redakan sabarlah tawakkal pada-Nya. Jika berlayar di suka cita, ingatlah 'tuk selalu syukur pada-Nya."

Alunan musik nasyid favoritku melenakan hati. Kutatap wajahku di cermin, hmm aku memang sudah dewasa. Berada di dalam sebuah kamar dengan nuansa coklat muda dan beberapa rangkaian bunga matahari plastik membuat diri ini merasa termanjakan. Coklat muda dan bunga matahari, dua hal kesukaanku. Di ujung ruangan ini tersusun lima tangkai bunga matahari di atas vas tinggi berisi air untuk menjaga kesegarannya. Mataku pun beranjak ke arah sebuah jam dinding berbentuk mesjid, masih pukul 03.30. Aku baru saja menyelesaikan pertemuan rutin dengan Allah dalam sujud panjangku, sengaja aku berqiyamul lail di kamar ini. Mataku sembab, rupanya tadi aku terlalu menghayati curahan hati yang kulantunkan indah dalam desahan doa. Kali ini aku benar-benar bersyukur. Kutatap lagi diriku di pantulan cermin, membawaku pergi kembali menyusuri dimensi ruang dan waktu, hingga sampai pada sepotong episode.


*****

"Hah! Loe suka sama Kak Hasan, Des? Serius?!" Rani yang tadinya serius membaca komik Flame of Recca tiba-tiba terbelalak sambil menutup komik itu dengan cepat.

"Iya deh kayaknya, hhehe," jawabku, singkat.

Rani langsung memasang tampang menggoda dan tersenyum penuh syukur seakan-akan menemukan suatu keajaiban yang lama dia nantikan.

"Serius loe? Ya ampun, akhirnya sohib gue yang satu ini kembali normal, loe bisa naksir makhluk yang predikatnya cowok lagi. Hahaha. Padahal gue sudah mau curiga deh sama loe, habisnya semenjak kejadian itu, loe nggak pernah curhat masalah cowok ke gue," sambil memegang kedua bahu, Rani mengguncang-guncang badanku.

"Sssst. Jangan keras-keras dong, Ran! Ini kantin sekolah, bukan kuburan!" protesku. Aku melirik kiri-kanan dengan khawatir.

"Hahaha. Iya. Iya. Maaf, Tapi serius kan? Loe sudah bisa naksir cowok? Sumpah, gue pengen sujud syukur nih sekarang, akhirnya loe kembali normal!" Rani masih saja lebay.

Aku nggak merasa aneh dengan Rani, wajar! Sudah 2 tahun semenjak kejadian itu, aku menutup diri dari laki-laki. Dan selama 2 tahun itu juga aku yang selalu mendengarkan curhat Rani tentang cowok-cowok yang disukainya maupun pacarnya tanpa pernah aku yang menjadi si pencerita. Terkadang Rani protes denganku, "Des, loe lagi dong yang cerita! Masa gue terus yang curhat. Nggak bosan loe ngedengerin cerita gue?" Kalau Rani sudah berkata demikian, aku hanya tersenyum dan menggeleng. Aku tidak pernah merasa bosan mendengar ceritanya, never. Dan cowok? ah, bagiku itu sama sekali nggak penting.

***

Pak Ngatidjo berdiri di depan kelas sambil menulis deretan angka dihiasi simbol-simbol sebagai pelengkapnya. Ini pelajaran favoritku, matematika, tapi entah kenapa saat ini jiwaku sedang kabur dari ragaku. Kutatap kosong papan tulis putih yang penuh dengan angka-angka, pikiranku melayang. Aku telah membohongi Rani, menipu perasaanku sendiri, mengkhianati  hati. Menyukai Kak Hasan? Sejak kapan? Hahaha. Aku hanya melarikan perasaanku yang buntu ini. Kak Hasan memang sosok yang pantas untuk dikagumi, tapi jujur, aku tidak ada perasaan sedikit pun padanya.

Bertemu dengan bekas jejak langkah lama, membuat hati ini meronta, memberi isyarat pada pikiran untuk lari secepatnya, meninggalkan dan melupakan semuanya.Ya, setelah dua tahun menjauh, tadi pagi aku bertemu dengan orang itu. Orang yang membuatku tak berani menoleh ke belakang. Tapi ada satu hal yang baru kusadari, serpihan rasa itu masih tertinggal di sudut hati. Dan aku takut, aku takut menyadari bahwa aku masih mencintainya. Sekalipun bibir ini merontakan kata TIDAK!

Satu hal yang terlintas di otakku adalah "cepat cari orang lain untuk melupakannya!", tapi tidak semudah yang kubayangkan. Dan hari ini, tampaknya aku harus memaksakan hatiku untuk berlari mencari jejak lain. Entah kenapa yang terlontar dari bibirku adalah Kak Hasan. Setidaknya dia memang pantas untuk sekadar dikagumi. Kulirik Rani yang duduk di bangku sebelahku, tak tega rasanya aku tidak menceritakan yang sebenarnya, bahwa aku hanya berusaha melupakan orang itu dengan memaksa hatiku untuk menyukai yang lain. Aku hanya pura-pura menyukai Kak Hasan. Tak apalah, yang penting dia berhenti menganggapku sebagai remaja yang tidak normal.

"Desy, coba kerjakan soal nomor 5 ke depan," suara Pak Ngatidjo membuyarkan lamunanku.

Aku tersentak seketika. Dengan ragu aku maju menuju papan tulis sambil membaca soal yang tertera di sana. Ah, untungnya soal itu sudah kujawab saat latihan soal di rumah tadi malam. "Bismillah," lirihku.

***

Setelah beberapa hari, aku sudah mulai terbiasa akting di hadapan Rani, seolah-olah aku benar-benar menyukai Kak Hasan. Ternyata aku cukup berbakat menjadi pemain sinetron, Rani terus menggodaku dengan guyon bertema Kak Hasan.

"Des, Sabtu nanti ada acara pembukaan HUT sekolah kita loh," Rani berbicara dengan tampang antusias sambil menepuk bahunku. Aku yang sedang makan risoles kantin sekolah langsung menghentikan kunyahanku.

"Haduh, nggak usah pakai nepuk-nepuk bahu gue dong. Iya lah, gue juga tahu kalau Sabtu ini ada acara, biasa aja kali," timpalku ketus. Untung saja bahu kiriku yang ditepuk olehnya, coba kalau bahu kanan, bisa-bisa risoles yang lezat ini jatuh bebas ke lantai kantin.

"Sorry Des, sorry. Maksud gue,loe sudah tahu belum kalau Kak Hasan bakalan tampil pas acara pembukaan nanti? Kesempatan bagus tuh, Des!" serunya.

"Oh ya? Tahu darimana loe, Ran? Beneran nih?" jawabku sambil memasang wajah seantusias mungkin, padahal gue nggak peduli Kak Hasan mau tampil atau nggak, toh itu bukan urusan gue.

"Masa gue bohong, tadi gue cerita-cerita sama Deya, dia 'kan jadi seksi acara. Deya bilang kalau salah satu acara hiburan di pembukaan HUT sekolah nanti ada penampilan bandnya Kak Hasan, dan itu artinya ..."

"Kak Hasan ngeband juga ya, Ran?" belum sempat Rani selesai, aku langsung memotong. Heran, aku baru tahu kalau Kak Hasan ngeband. Yang kutahu dia itu anak OSIS, ROHIS, dan ikut kelompok KIR di sekolahku. Beberapa kali menjuarai olimpiade-olimpiade fisika. Rasanya aku nggak pernah liat dia ngeband. Ngawur ah si Rani.

"Hmm. Yang jelas tadi gue lihat sendiri susunan acaranya di tempat Deya, terus gue juga lihat daftar pengisi acara hiburannya. Ada nama Kak Hasan, dia ngeband bareng Kak Dira cs. Wah, bakalan seru nih melihat pujaan hati nanti," godanya dengan mata berkedip-kedip. Serasa mau kucongkel saja matanya itu. Hehe.

"Oh Kak Dira? Ya jelas lah disuruh tampil, suaranya bagus banget tuh," kujawab seadanya sambil menghabiskan risoles yang tersisa.

"Yaaaaah, kok loe gak antusias sih, Des? Kak Hasan bakalan tampil nih, itu artinya loe bisa nonton dia ngeband dan kalau perlu direkam," Rani sewot dan memberi sebuah ide gila.

"Haaaah??? Ngerekam??? Buat apa coba??? Ogah gue! Kalau cuma nonton sih nggak masalah," aku menjawab sekenanya.

"Hahaha. Biar entar gue yang ngerekam. Loe pasti malu kan," Rani masih belum berhenti menggodaku.

"Hah? Hahaha," aku hanya tertawa datar, bingung bagaimana agar 'drama'ku tidak terbongkar. Kubersihkan jilbabku yang tak sengaja tertitik petis risoles. Ah, sesuatu hal yang memalukan jika seorang cewek berjilbab sepertiku menunjukkan sikap centil layaknya putri kesetanan. Aku memang berpura-pura menyukai Kak Hasan di depan Rani, ya hanya di depan Rani, semata-mata hanya ingin menyelamatkan hatiku dari serpihan masa lalu. Bukan untuk benar-benar menyukainya, apalagi sampai menunjukkannya. Itu hanya perasaan palsu yang tak perlu ditunjukkan dengan tingkah polah berlebihan.

***

Aku dan Rani duduk di bangku deretan kedua dari depan. Di atas panggung berdiri Kak Hasan dengan gitar listrik, permainannya lumayan. Rani masih memegang handycam-nya, dari tadi dia merengek-rengek mau merekam pertunjukan yang ada di hadapan kami sekarang, tapi kutahan dan aku melotot ke arahnya.

"Buat apa Ran? Nggak penting ah!" ucapku saat menahannya.

"Ya buat loe lah, Des. Biar bisa nonton kapan aja," jawab Rani sekenanya.

"Haduh, itu sih namanya membuka jalan untuk mengotori hati. Sudah gue bilang kan, gue suka dia cuma sebagai tanda kalau gue ini normal. Gue nggak mengharap apa-apa kok. Rasa suka ini sudah lebih dari cukup dan loe tahu kan kalau..."

"Ya ya ya, gue tahu loe bakal bilang apa. Allah pasti ngasih jodoh yang terbaik nantinya, dan sekarang yang penting terus memperbaiki diri, karena lelaki yang baik hanya untuk wanita yang baik, begitu juga sebaliknya 'kan? Gue sudah hapal di luar kepala nasihat loe yang satu itu," potong Rani sambil berlagak layaknya seorang ustadzah.

"Sahabat gue yang satu ini emang pinter, terus kapan nih loe mau belajar pakai jilbab?" sindirku halus.

"Doa'in secepatnya aja," jawabnya pendek.

Rani langsung memusatkan perhatiannya ke depan. Aku jadi merasa tak enak. Tak apalah, yang jelas aku sangat ingin melihat sahabatku yang satu ini bertemu dengan hidayah-Nya dan menutup auratnya. Semoga waktu itu segera tiba.

"Jikalau telah datang waktu yang dinanti, kupasti bahagiakan dirimu seorang."

Lirik merdu menyergap hati yang penuh dengan harap. Semuanya hanyut dalam iringan nada yang indah, seindah cinta Sang Maha Pencinta.

*****

Lamunanku akan episode masa lalu terbuyarkan oleh nada dering handphoneku. Kulihat layarnya, ternyata telepon dari Rani.

"Assalamu'alaykum, Raniiii..." sapaku dengan riang.

"Wa'alaykumussalam, ukh. Gimana nih, sudah siap buat hari ini? Pasti deg-degan banget ya, Des. Hehehe," Rani masih belum berubah, masih saja suka menggodaku.

"Hehehe. Bisa aja. Kapan ke sini, ukh?" tanyaku tanpa basa-basi.

"Nanti habis shalat Shubuh ane langsung ke sana. Pokoknya nanti ane mau ikut merias calon pengantin, hehehe," Rani tertawa renyah.

Mataku tiba-tiba hangat, sungguh indah skenario dari Allah. Sudah 7 tahun berlalu dari episode lampau itu. Kini Rani sudah mengenakan jilbab rapat, dan persahabatan kami semakin erat. Dan hari ini, aku akan melangsungkan pernikahan dengan pemuda yang tak pernah kuduga sebelumnya. Dia meminangku lewat perantara ustadz Ahmad. Setelah beberapa kali shalat istikharah, akhirnya dengan keyakinan hati kuterima pinangannya.

"Kupinang engkau dengan Al-Qur'an. Kokoh dan suci ikatan cinta. Kutambatkan hati penuh marhamah. Arungi bersama samudera dunia."

Lantunan nasyid masih terngiang di telingaku, hingga menghilang di awal seruan adzan Shubuh.

Ya, Muhammad Hasan Rahman, seseorang yang pernah mengisi episode masa laluku di antara kepalsuan rasa yang kubuat sendiri. Dan kini, insyaAllah, dialah lelaki terbaik yang telah disiapkan Allah untukku.

(Nisrina Naflah)