27 Agustus 2014

Menyadarkan Realita

Lorong ini kerap sekali menjadi saksi bisu...
Dimana persinggungan terjadi tanpa ada tanda sebelumnya...
Menatap tunduk mengiring langkah...
Bertingkah seolah tak tahu...
Semakin mengikis asa, menyadarkan realita...

Persinggungan ini ibarat oase yang tak sempurna...
Kelu...
Hingga iringan musik itu kembali terngiang...
Serupa dengan senandung yang pernah digumamkannya...
Kembali menyadarkan realita...

-Nisrina Naflah-

7 Agustus 2014

Hahahaha Itu Benar Sekali~

Lagi-lagi, aku tersungkur hanya karena penilaian manusia.
Padahal aku tahu, penilaian yang sejati hanyalah penilaian dari-Nya.
Aku sangat tahu, tapi mungkin belum mengerti dan memaknai sepenuhnya.

***

"Wah, Vita cantik banget," seru Sari dari tempat duduknya.
"Ah," Vita menyahut sambil memonyongkan bibirnya.
"Wah, tetep cantik," Sari menimpali.
Vita tersipu sambil menempelkan pipinya yang tirus ke sisi lemari sebelahnya.
Lagi-lagi Sari berkomentar, "Gimana pun posenya, selalu cantik."
Vita tertawa renyah, menunjukkan gigi gingsulnya yang membuat wajahnya semakin manis.
"Iya, selalu cantik. Nggak kayak kamu kan, Sari. Gimanapun posenya selalu jelek, jelek, dan jelek, hahaha," seseorang tiba-tiba menyelutuk spontan dengan tertawa menyindir.
"Hahahaha, kampret lu. Awas lu ya kalo ntar gue jadi model, hhahaha," Sari menjawab sindiran itu dengan wajah ceria dan tawa yang lepas, tanpa tersinggung sedikit pun.

***

Ada masa dimana seseorang akan tersungkur atas keadaan yang ada pada dirinya. Dan akan tersungkur jauh lebih dalam lagi karena celetukan yang menohok yang tanpa dia tahu pasti apakah itu hanya bercanda atau spontan keluar dari  mulutnya.
Yang jelas, jadi Sari itu nyelekit banget. Hhaha. Walaupun Sari sadar betul apa yang dikatakan temannya itu kenyataan, teteuppp rasanya gimana gitu ya.
Ikut tertawa tanpa beban, membiarkan semua tertawa, mungkin sudah cukup bagi Sari untuk menebus janjinya ingin menjadi Si Purnama.
Asalkan mereka bahagia, senang, dan tertawa, tak masalah mau dibilang apapun juga.
Tapi, satu hal yang tak disadari, bahwa ada masa dimana seseorang akan tersungkur atas keadaan yang ada pada dirinya. Dan akan tersungkur jauh lebih dalam lagi karena celetukan yang menohok yang tanpa dia tahu pasti apakah itu hanya bercanda atau spontan keluar dari  mulutnya.
Membuatnya terjatuh dan merendahkan dirinya sendiri, merasa tak bermakna layaknya batu di tumpukan intan permata.
Mungkin ada tangan yang bersedia memungutnya nanti? Tangan yang bersih dan lembut yang siap mengasahnya menjadi batu yang lebih baik, bahkan terbaik. Membuatnya menjadi lebih bermakna, di mata Tuhan-Nya.

-Nisrina Naflah-