13 Juni 2011

Jalan yang Terbaik

"Assalamu'alaikum..." kusapa suara di seberang telepon sana.

"Wa'alaikumussalam... Rin, ading Fajar kada lulus..." suara mamah terdengar jelas, namun tak ada nada kecewa sedikit pun.

Aku diam, entahlah. Rasanya ada sedikit kekecewaan yang mematik rasa sedih di hati. Mamah bercerita di telepon tentang pengumuman tes di SMA itu, adikku bukannya tidak lulus tes, hanya saja tidak lulus syarat. Nilai tesnya bagus, tinggi-tinggi, bahkan aku bangga ketika mamah menyebutkan nilai-nilai hasil tesnya itu. Tapi sayangnya, ada satu nilai UANnya yang kurang dari 7, dan itu yang membuat dia harus 'menikung' sedikit dalam perjalanan meraih mimpinya. Yaa Rabb, aku menangis. Tapi dengar suara mamah, tak ada sedikit pun kecewa, menyalahkan, bahkan marah. Tidak sama sekali. Mamah selalu menerima semuanya, qana'ah.

"Ulun kena handak kuliah di ITB," Fajar menceritakan mimpi besarnya kepada kami saat bersantai di ruang tengah. Abah mamah langsung mengaminkan dan tersenyum bangga, "Lihat, anak-anakku mempunyai mimpi besar dan InsyaAllah akan terwujud!" Begitu yang kulihat dari binar mata mereka. Sama, sama seperti dulu ketika aku berkata, "Rina handak kuliah di Jawa, jadi dokter!"

Yeah, mimpiku itu akan segera terwujud, walaupun aku "BELUM" kuliah di Jawa. Tapi aku yakin, mimpi itu akan terwujud (Amiin yaa Rabb, mudah-mudahan). Sama seperti mimpi yang diungkapkan Fajar, itupun akan terwujud. Hanya saja jalan yang ditempuh mungkin nggak semulus yang dikira, tapi PASTI ADA JALANNYA.

Tersenyum. Fajar hanya tersenyum simpul ketika mendengar obrolanku dengan mamah di telepon. Masya Allah, aku nggak sanggup melihat wajah adikku yang gembul itu. Dengan polosnya, kuhibur dia, kukatakan nilai tesnya luar biasa, hanya gara-gara satu nilai UAN yang entah kenapa kurang dari syarat penerimaan di SMA itu. Dia lagi-lagi tertawa pelan.

"Maka ikam handak masuk ITB, Jar?" tanpa sadar aku mengatakan kalimat itu di hadapannya, sungguh, aku hanya ingin melihat kesungguhannya. "Tenang aja, Kak. Pasti ada jalannya," dia menjawab tenang, dan 'lagi-lagi' tersenyum. Ah, mataku panas. Lihat, adikku sekarang sudah dewasa, dan aku yakin, dia pasti bisa menggapai mimpinya, bahkan lebih. Pasti, InsyaAllah. Karena di setiap doaku, selalu kusebut namanya, selalu kusebut nama adik-adikku yang luar biasa. Hemmm, di saat-saat begini rasanya aku semakin sayang dengan mereka.

Jangan pernah menyerah, Allah pasti memberi jalan yang terbaik. Mungkin nggak sesuai dengan apa yang kita rencanakan, adikku. Tapi pasti itu jalan yang terbaik untuk sampai pada apa yang kita tuju. Ikhlas, niatkan semata-mata karena Allah swt. Pasti ada jalannya. :')

"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah ada kesulitan itu ada kemudahan." (Q.S. Al-Insyirah : 5-6)

"Setiap satu makhluk BERHAK ats satu HARAPAN"

(Nisrina Naflah)

12 Juni 2011

Ah, Lagi-Lagi...

Ah, lagi-lagi dia menyerang tanpa komando.
Tersudut dan kalah lagi.
Sekuat apapun melawan, akhirnya jatuh lagi.
Hukum alam, begitu alasannya.
Tapi semudah itukah goyah?
Segampang itukah rapuh?
Dimana kekuatan itu?

Ah, lagi-lagi dia datang tanpa tanda.
Terkecoh dan diam lagi.
Seteliti apapun mengawasi, akhirnya tertipu lagi.
Ajaib, begitu katanya.
Tapi sehebat itukah kuasanya?
Sekuat itukah pengaruhnya?
Dimana kekuatan itu?

Kekuatan untuk melawan.
Kekuatan untuk menahan.
Kekuatan untuk menantang.

Ah, lagi-lagi tak berkutik.
Hanya tersudut dan diam.
Merangkai makna entah berantah.

Ah, lagi-lagi aku kalah.
Karena memang tak bisa dilawan.
Takkan pernah bisa.

(Nisrina Naflah)

Kumerindukan-Mu

Selama aku, masih bisa bernafas...
Masih sangguo berjalan...
Kukan slalu memuja-Mu...
Dengarkan aku...
Kumerindukan-Mu...

Rindu, suatu rasa yang tertahan, ingin bertemu, ingin bersua. Yah, ini rindu yang berbeda. Jauh berbeda apabila dibandingkan dengan rindu dunia. Aku benar-benar ingin melepas rindu pada-Nya. Pada Dia yang selama ini telah memberi banyak, pada Dia yang selalu mencurahkan kasih sayang-Nya, pada Dia yang selalu memberikan teguran indah nan bermakna, pada Dia yang telah kulafazhkan janji yang sakral.

Sungguh, ini bukan rindu picisan yang sering dilontarkan untuk merayu. Bukan sekadar rindu yang dibalut dengan rasa yang 'palsu', ini rindu yang nyata. Rindu pada-Nya yang selama ini terlalu baik padaku. Rindu pada-Nya yang selalu mendengarkan kisah-kisah dalam tangisku.

Salahkah merindu? Aku ingin bertemu dengan-Nya, menatap wajah agung-Nya. Bisakah? Pantaskah? Aku hanya manusia yang penuh licak hina dan dosa, lantas memiliki keinginan yang besar untuk bertemu dengan-Nya, kelak.

Kelak? Tidakkah aku sadar bahwa mata ini bisa kapan saja tertutup untuk selamanya. Dan ketika waktu itu tiba, akankah kerinduan ini segera terobati? Rasanya diri ini tidak pantas, sungguh jauh dari kata pantas untuk bertemu dengan-Nya. Tapi, sungguh aku merindukan-Nya.

Semoga aku senantiasa memikirkan-Nya, mengagungkan nama-Nya, memperjuangkan dien-Nya, dan mempersembahkan hati ini hanya pada-Nya. Kepada Allah yang Maha Pemurah. Dan biarkan rindu ini terus tumbuh, mengakar dengan kuat, menjulang tinggi, hingga akhirnya akan memberikan semangat yang luar biasa untuk berjalan bersama mereka, saudara-saudaraku. Agar rindu ini sampai, sampai pada-Nya.

Merindukan-Mu, Yaa Rabb...

(Nisrina Naflah)

Di Batas Waktu

Dia masih duduk di kursi bawah pohon itu, pandangannya lurus ke depan. Walaupun kilau matanya sangat indah, tapi tatapan itu nanar. Kosong hingga tergambar jelas, ada hawa tak nyaman di hatinya. Beberapa detik kemudian, butiran airmata jatuh tanpa komando dari mata indahnya. Menitik satu per satu, beriringan. Memperjelas bahwa di hatinya sedang terlibat satu dilema yang menyakitkan. Perempuan itu terus duduk di kursi bawah pohon itu. Mencoba mengeluarkan emosi yang menguap berbentuk airmata.

Dia masih duduk di atas motornya, kepalanya menunduk, tangannya menopang dahinya dengan bersandar di kemudi motornya. Dia hanya sendiri di parkiran ini. Dari posisinya saja, tergambar jelas ia sedang letih. Tidak hanya fisik, namun perasaan. Sekali-kali ia menegakkan kepalanya dan mengusap dahi hingga ke rambutnya. Laki-laki itu masih saja duduk di atas motornya. Menghembuskan napas berat yang mengandung sejuta beban.

***

Perpisahan itu datang tanpa terelakkan. Di tengah masa SMA yang indah, Dinda harus berpisah dengan teman-temannya. Setelah satu setengah tahun sekolah di SMA Merdeka, tiba-tiba orangtuanya harus pindah kerja. Dan itu sangat berat untuk Dinda, karena ia harus meninggalkan sahabat-sahabatnya, masa kecilnya di kota kecil ini, dan seseorang yang sudah mengambil tempat spesial di hatinya, Dhanu.

Sebenarnya Dhanu dan Dinda tidak memiliki hubungan apa-apa. Hanya saja, seluruh penghuni SMA Merdeka sudah tahu bahwa mereka berdua saling menyukai. Entahlah apa yang menyebabkan mereka mendiamkan perasaannya masing-masing, yang jelas mereka hanya berteman biasa layaknya hubungan adik-kakak kelas. Tidak lebih, walaupun masing-masing dari mereka menyadari ada virus cinta yang mulai menggerogoti hati.

Dhanu adalah kakak kelas Dinda. Entah bagaimana mereka bisa mengenal satu sama lain. Yang jelas, karena sama-sama berada di salah satu ekstrakurikuler yang sama, paskibra, mereka jadi dekat. Akan tetapi, hingga satu setengah tahun bersama, tidak ada sepatah pun kata cinta yang keluar dari mulut mereka.

Tidak heran, masing-masing dari mereka adalah anak rohis. Walaupun hanya sebagai anggota ecek-ecekan di rohis, mereka masih sadar bahwa pacaran itu dilarang. Tapi, bagaimana mungkin mereka menolak rasa cinta yang datang tanpa diundang. Hingga mungkin mereka mendiamkannya hingga menunggu saat yang tepat.

Hingga detik detik perpisahan pun, mereka hanya menyimpan rasa dalam hati masing-masing. Tak perlu diungkapkan, karena ini memang belum pantas diungkapkan. Lagipula untuk apa diungkapkan? Melegakan hati? Ah, pengungkapan itu hanya akan menciptakan rasa malu yang tiada terperi pada-Nya. Teringat pesan murabbinya, memangnya sudah siap untuk menikah? Hal itulah yang ada di benak Dhanu sehingga dia mampu mengunci mulutnya dari rasa yang sebenarnya semakin menggerogoti hatinya. Dan perpisahan ini? Huft, m-e-n-y-a-k-i-t-k-a-n, perempuan yang dikaguminya akan pergi.

Menunggu? Apa yang harus ditunggu? ungkapan semu itukah? Ah, pengungkapan itu hanya akan menggoyahkan iman ini. Lagipula benar kata murabbinya, mungkinkah rasa ini benar-benar berlandaskan karena-Nya? BELUM, sama sekali belum. Jadi tidak ada yang harus ditunggu. Pikiran Dinda bergejolak. Di tengah perdebatan hatinya, hanya satu yang dia tahu pasti, m-e-n-y-e-d-i-h-k-a-n, ia akan pergi meninggalkan laki-laki yang dikaguminya.

***

Satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun. Ya, sudah satu tahun Dinda dan Dhanu tidak bertemu. Apa kabar dengan sesonggok rasa di hati mereka? Mereka sudah menata hati dan mencoba mereduksi kadarnya hingga tak memenuhi alam pikiran. Menyibukkan diri dalam kegiatan-kegiatan. Dhanu yang akan menghadapi ujian kelulusan dan tes masuk perguruan tinggi, sibuk mempersiapkan diri dengan bimbel dan les-les di sekolah.

Sedangkan Dinda yang telah setahun pindah mulai beradaptasi dengan atmosfer barunya, berteman dengan supel, dan aktif di rohis sekolah barunya. Paling tidak, hal-hal itu akan menyirnakan rasa sedih atas perpisahan itu.

***

Kini mereka dipertemukan lagi, sungguh bukan kehendak mereka. Ini takdir dari langit, ini kuasa-Nya. Mereka tak kuasa menolak. Jika rasa fitrah itu dirasa sudah hilang, maka tanpa dikomando mereka muncul lagi. Menggerogoti hati yang seharusnya sudah kebal dengan semua ini. Tidak, rasa itu tidak pernah hilang. Tanpa sadar, mereka masih menyimpannya, jauh di balik jutaan lembaran memori. Ya, rasa itu lebih tepatnya kembali menyeruak keluar, membuka kembali lembaran lalu. Lantas, menciptakan dilema yang sebenarnya tak perlu tercipta.

Kini mereka berada dalam satu kampus, dari keduanya tak pernah menyangka akan jadi begini. Bahkan, mereka terlibat dalam satu organisasi dakwah kampus. Semua memang jelas, sangat jelas bahwa rasa itu masih melingkupi hati mereka. Tapi ada hal lain yang lebih penting, hati mereka hanya untuk-Nya.

Dinda tahu ini tidak bisa dibiarkan. Di setiap sujudnya dia berdoa agar dikokohkan hatinya. Menangisi kelemahan hatinya atas apa yang dia rasakan 'kembali' sekarang. Demikian Dhanu, semakin rajin puasa Senin-Kamisnya. Berharap hati ini terlindungi dari 'ganasnya' rasa.


***

Perempuan itu mengusap butiran-butiran airmatanya. Mengambil tissue dari dalam tasnya, sambil berkata lirih dalam hati, "Yaa Rabb, sungguh airmata ini adalah airmata penyesalan. Penyesalan atas hati yang khilaf ingin menduakan-Mu. Sungguh, rasa ini fitrah, rasa ini anugerah, tapi izinkan hamba-Mu yang lemah ini untuk mengelolanya, hingga takkan menggeser posisi-Mu dari posisi teragung di hatiku. Sungguh, ampuni hamba yang lemah. Kuatkan hamba berjalan dengan mereka, berjalan dengan... dengannya... Untuk memperjuangkan kebenaran di jalan-Mu. Hati ini milik-Mu,Yaa Rabb. Kuatkan hamba, Bismillah." Ia menegakkan kepalanya, menyunggingkan senyuman, lantas berdiri, berjalan meninggalkan taman sepi itu. Mulai detik itu, Dinda berjanji tidak akan kalah dengan rasa.

Laki-laki itu masih terdiam, tatapannya fokus pada satu titik puncak menara yang ada di hadapannya. Berkali-kali ia berdzikir, beristighfar, hingga akhirnya mengusap wajahnya. Dia benar-benar merasa hina dengan rasa yang mulai memenuhi hatinya 6 bulan belakangan ini. Dan kini, ia sadar. "Yaa Rabbi, tak seharusnya hamba kalah, tak seharusnya hamba lemah dengan rasa ini. Engkaulah sumber kekuatan, maka kuatkanlah hamba untuk melawan rasa ini. Sungguh, hanya Kaulah yang mengetahui apa yang terbaik untuk hamba. Hati ini milik-Mu yaa Rabb, maka jagalah hati ini untuk selalu terarah pada-Mu. Bukan padanya, bukan pada yang lain. Kuatkan hamba dalam jalan-Mu, mengobarkan kebenaran dalam dien-Mu. Bismillah." Ia edarkan pandangannya ke sekitar, sepi, lenggang. Hanya ada dia di sini. Ia raih helm yang ada di spion motornya, lantas memasangnya dengan pasti. Suara motornya mulai terdengar, melenggang pergi meninggalkan parkiran. Mulai detik itu, Dhanu berjanji tidak akan kalah dengan rasa.

Semua ini tanpa sadar telah menguatkan mereka. Sungguh menguatkan mereka, hanya saja terlalu rumit untuk diuraikan. Hingga waktu yang akan menjawab, hingga langit memberikan tandanya, di batas waktu.

(Nisrina Naflah)

Sebenarnya ini konsep cerpen yang tersimpan di laptop, baru jadi beberapa paragraf, lantas terdiamkan beberapa bulan. Kemudian tanpa sengaja terbuka kembali, dan aku bingung alur cerita seperti apa yang ingin kubuat dulu, aku lupa. Alhasil aku selesaikan saja dengan seGAJE-GAJEnya. Rasanya cerpen ini terinspirasi dari cerita temanku dan beberapa cerita yang kutemukan di internet. Hhaha. Kalo gak nyambung, ya berelaan. Kan terserah penulis mau bikin cerita kayak gimana. hhehe. ---> pembelaan diri.

10 Juni 2011

Sungguh, Benar-benar Adil... :)



Aku baru aja beli satu novel karya Tere Liye, judulnya Rembulan Tenggelam di Wajahmu. Sebenarnya itu novel lama, dan akupun sudah lama mau beli. Dan akhirnya setelah penantian panjang, bisa terbeli juga novelnya.

Well, novel itu langsung kulalap habis tanpa penundaan. Dan ini artinya aku suka sama alur ceritanya. Di rumah sudah menumpuk buku-buku dan novel-novel baru yang kubeli yang belum habis kubaca sampai sekarang. Kenapa? Nggak rame? Sebenarnya bukan itu sih alasan utama kenapa aku belum juga membaca buku-buku dan novel-novel itu, tapi lebih karena semangatku untuk membeli buku lebih gede dibandingkan dengan semangat untuk membaca mereka. Jadi, belum habis membaca buku/novel yang baru kubeli, aku sudah membeli buku/novel baru lagi. Dan alhasil, menumpuk lah mereka, menunggu giliran untuk kubaca.

Tapi tidak dengan novel yang satu ini. Benar-benar menyihirku untuk menyelesaikan membacanya. Dan memang mantap sekali alur ceritanya. Seorang laki-laki dengan lima pertanyaan besar dalam hidupnya. Salah satu pertanyaannya adalah, "Apakah hidup ini ADIL?"

Oke, kali ini kita akan membahas satu pertanyaan itu. Apakah hidup ini adil? Kebanyakan manusia yang hidup di dunia ini, sadar ataupun tidak, akan beranggapan bahwa hidup ini tidak adil bagi mereka, apalagi ketika ditimpa satu masalah ataupun mendapatkan suatu hal yang tidak disenanginya.

Misalnya aja nih, ketika ada seseorang yang sudah belajar mati-matian buat ujian, ternyata cuma dapat nilai 85. Sedangkan temannya yang sama sekali nggak belajar, terus nyontek pas ujian ditambah dengan tebak-tebak buah manggis, ternyata dapat nilai 95, nyaris sempurna. Tuh kan, dunia nggak adil. Orang yang belajar kalah nilai sama orang yang nyontek, bener-bener nggak adil 'kan? Tapi, coba deh kita pikir. Emangnya dengan menyontek ilmu itu bisa lekat di otak kita? Malahan nih ya jadi beruntung. Kalo sudah belajar, paling tidak pasti mengerti, lebih baik lagi kalo kita sudah menjadi dari bagian ilmu itu sendiri. Kalau dibandingkan sama orang yang nyontek, jelas lebih beruntung, apalagi apa yang kita pelajari pasti berguna buat masa depan. So, masih berpikiran kalo dunia itu gak adil???

Banyak hal yang menyebabkan seseorang bisa dengan mudah mengutuk kehidupan yang dijalaninya. Mengutuk takdir dari langit dan berkilah bahwa dunia ini gak adil. Tapi cobalah untuk bijak. Ketika mendapatkan suatu hal yang buruk, maka tengoklah ke atas. Pasti ada janji-janji masa depan untuk kebaikan, Dia itu Maha Pemurah. Dan ketika mendapatkan suatu hal yang menyenangkan, maka tengoklah ke bawah, masih banyak orang-orang yang tidak seberuntung dirimu, dan bersyukurlah pada-Nya.

Apapun yang kita alami dalam perjalan hidup di tempat pencarian bekal ini, itu adalah takdir dari 'langit'. Dan itu pasti yang terbaik dan ADIL untuk kita. Mencoba berpikir bijak akan lebih baik ketimbang mengumpat bahwa hidup ini tidak adil. Hidup ini adil, karena Rabb yang Menghidupkan kita adalah Dzat yang Maha Adil. Percayalah.

Dan ketika kita mulai mengumpulkan mozaik-mozaik kehidupan, dan merangkainya menjadi satu. Maka akan kau lihat betapa hidup ini adalah anugerah, betapa Sang Maha Adil menciptakan hidup yang begitu adil, dengan garis takdir yang adil pula.

-Nisrina Naflah-

4 Juni 2011

Basket itu Berprinsip ;)

"Priiiit...!!!"

Bunyi peluit wasir terdengar, riuh suara penonton masih membahana di lapangan basket. Backball. Kini bola basket pun berpindah ke tangan tim satunya.

"Pelanggaran ya???" tanya temanku yang sedari tadi duduk di sebelahku.

"Yap," jawabku singkat.

"Jadi kalo udah bawa bola setengah lapangan ke arah ring lawan, gak boleh balik lagi ya bolanya???" dia mencoba menyimpulkan apa yang baru saja dia lihat di lapangan.

"Hooh, kalo balik lagi namanya backball. Terus bolanya jadi buangan lawan," aku mencoba sedikit menjelaskan.Maklum, temanku itu bukan seseorang yang berkecimpung dalam basket layaknya aku. Jadi, wajar saja dia bertanya demikian.

Tiba-tiba temanku yang lain ikut mencelutuk, "Ribet banget ya main basket, bolanya gak bebas. Coba kalo sepak bola atau futsal, mau kemana aja bolanya, asalkan masih di dalam lapangan gak masalah tuh."

Tanpa pikir panjang, spontanitas, aku menjawab dengan kata-kata yang mengalir begitu saja.

"Basket itu punya prinsip. Kalo udah di garis tengah lapangan, bolanya gak boleh dibawa balik lagi. Harus terus ke depan, ke ring lawan. Ibaratnya ye, kalo udah putus, ya nggak boleh balikan lagi. Zina kan. Jadi nggak boleh balik, bolehnya nikah, menyambut masa depan dan berjalan bersama-sama di jalan-Nya untuk menggapai kesuksesan dunia dan akhirat. Melangkah bersama dan takbirkan asma-Nya."

Jreeeeng jreeeeeng... Kaga tau lagi kesambet jin apa gue waktu itu, lebay banget yak. Hhehe. Tapi beneran loh, basket itu berprinsip. Sama kayak gue, hhehe. (sekali-sekali narsis kagak ape-ape kan ye???) :))

-Nisrina Naflah-
(di saat tak bisa lepas dengan satu hal)