Dia masih duduk di kursi bawah pohon itu, pandangannya lurus ke depan. Walaupun kilau matanya sangat indah, tapi tatapan itu nanar. Kosong hingga tergambar jelas, ada hawa tak nyaman di hatinya. Beberapa detik kemudian, butiran airmata jatuh tanpa komando dari mata indahnya. Menitik satu per satu, beriringan. Memperjelas bahwa di hatinya sedang terlibat satu dilema yang menyakitkan. Perempuan itu terus duduk di kursi bawah pohon itu. Mencoba mengeluarkan emosi yang menguap berbentuk airmata.
Dia masih duduk di atas motornya, kepalanya menunduk, tangannya menopang dahinya dengan bersandar di kemudi motornya. Dia hanya sendiri di parkiran ini. Dari posisinya saja, tergambar jelas ia sedang letih. Tidak hanya fisik, namun perasaan. Sekali-kali ia menegakkan kepalanya dan mengusap dahi hingga ke rambutnya. Laki-laki itu masih saja duduk di atas motornya. Menghembuskan napas berat yang mengandung sejuta beban.
***
Perpisahan itu datang tanpa terelakkan. Di tengah masa SMA yang indah, Dinda harus berpisah dengan teman-temannya. Setelah satu setengah tahun sekolah di SMA Merdeka, tiba-tiba orangtuanya harus pindah kerja. Dan itu sangat berat untuk Dinda, karena ia harus meninggalkan sahabat-sahabatnya, masa kecilnya di kota kecil ini, dan seseorang yang sudah mengambil tempat spesial di hatinya, Dhanu.
Sebenarnya Dhanu dan Dinda tidak memiliki hubungan apa-apa. Hanya saja, seluruh penghuni SMA Merdeka sudah tahu bahwa mereka berdua saling menyukai. Entahlah apa yang menyebabkan mereka mendiamkan perasaannya masing-masing, yang jelas mereka hanya berteman biasa layaknya hubungan adik-kakak kelas. Tidak lebih, walaupun masing-masing dari mereka menyadari ada virus cinta yang mulai menggerogoti hati.
Dhanu adalah kakak kelas Dinda. Entah bagaimana mereka bisa mengenal satu sama lain. Yang jelas, karena sama-sama berada di salah satu ekstrakurikuler yang sama, paskibra, mereka jadi dekat. Akan tetapi, hingga satu setengah tahun bersama, tidak ada sepatah pun kata cinta yang keluar dari mulut mereka.
Tidak heran, masing-masing dari mereka adalah anak rohis. Walaupun hanya sebagai anggota ecek-ecekan di rohis, mereka masih sadar bahwa pacaran itu dilarang. Tapi, bagaimana mungkin mereka menolak rasa cinta yang datang tanpa diundang. Hingga mungkin mereka mendiamkannya hingga menunggu saat yang tepat.
Hingga detik detik perpisahan pun, mereka hanya menyimpan rasa dalam hati masing-masing. Tak perlu diungkapkan, karena ini memang belum pantas diungkapkan. Lagipula untuk apa diungkapkan? Melegakan hati? Ah, pengungkapan itu hanya akan menciptakan rasa malu yang tiada terperi pada-Nya. Teringat pesan murabbinya, memangnya sudah siap untuk menikah? Hal itulah yang ada di benak Dhanu sehingga dia mampu mengunci mulutnya dari rasa yang sebenarnya semakin menggerogoti hatinya. Dan perpisahan ini? Huft, m-e-n-y-a-k-i-t-k-a-n, perempuan yang dikaguminya akan pergi.
Menunggu? Apa yang harus ditunggu? ungkapan semu itukah? Ah, pengungkapan itu hanya akan menggoyahkan iman ini. Lagipula benar kata murabbinya, mungkinkah rasa ini benar-benar berlandaskan karena-Nya? BELUM, sama sekali belum. Jadi tidak ada yang harus ditunggu. Pikiran Dinda bergejolak. Di tengah perdebatan hatinya, hanya satu yang dia tahu pasti, m-e-n-y-e-d-i-h-k-a-n, ia akan pergi meninggalkan laki-laki yang dikaguminya.
***
Satu hari, satu minggu, satu bulan, satu tahun. Ya, sudah satu tahun Dinda dan Dhanu tidak bertemu. Apa kabar dengan sesonggok rasa di hati mereka? Mereka sudah menata hati dan mencoba mereduksi kadarnya hingga tak memenuhi alam pikiran. Menyibukkan diri dalam kegiatan-kegiatan. Dhanu yang akan menghadapi ujian kelulusan dan tes masuk perguruan tinggi, sibuk mempersiapkan diri dengan bimbel dan les-les di sekolah.
Sedangkan Dinda yang telah setahun pindah mulai beradaptasi dengan atmosfer barunya, berteman dengan supel, dan aktif di rohis sekolah barunya. Paling tidak, hal-hal itu akan menyirnakan rasa sedih atas perpisahan itu.
***
Kini mereka dipertemukan lagi, sungguh bukan kehendak mereka. Ini takdir dari langit, ini kuasa-Nya. Mereka tak kuasa menolak. Jika rasa fitrah itu dirasa sudah hilang, maka tanpa dikomando mereka muncul lagi. Menggerogoti hati yang seharusnya sudah kebal dengan semua ini. Tidak, rasa itu tidak pernah hilang. Tanpa sadar, mereka masih menyimpannya, jauh di balik jutaan lembaran memori. Ya, rasa itu lebih tepatnya kembali menyeruak keluar, membuka kembali lembaran lalu. Lantas, menciptakan dilema yang sebenarnya tak perlu tercipta.
Kini mereka berada dalam satu kampus, dari keduanya tak pernah menyangka akan jadi begini. Bahkan, mereka terlibat dalam satu organisasi dakwah kampus. Semua memang jelas, sangat jelas bahwa rasa itu masih melingkupi hati mereka. Tapi ada hal lain yang lebih penting, hati mereka hanya untuk-Nya.
Dinda tahu ini tidak bisa dibiarkan. Di setiap sujudnya dia berdoa agar dikokohkan hatinya. Menangisi kelemahan hatinya atas apa yang dia rasakan 'kembali' sekarang. Demikian Dhanu, semakin rajin puasa Senin-Kamisnya. Berharap hati ini terlindungi dari 'ganasnya' rasa.
***
Perempuan itu mengusap butiran-butiran airmatanya. Mengambil tissue dari dalam tasnya, sambil berkata lirih dalam hati, "Yaa Rabb, sungguh airmata ini adalah airmata penyesalan. Penyesalan atas hati yang khilaf ingin menduakan-Mu. Sungguh, rasa ini fitrah, rasa ini anugerah, tapi izinkan hamba-Mu yang lemah ini untuk mengelolanya, hingga takkan menggeser posisi-Mu dari posisi teragung di hatiku. Sungguh, ampuni hamba yang lemah. Kuatkan hamba berjalan dengan mereka, berjalan dengan... dengannya... Untuk memperjuangkan kebenaran di jalan-Mu. Hati ini milik-Mu,Yaa Rabb. Kuatkan hamba, Bismillah." Ia menegakkan kepalanya, menyunggingkan senyuman, lantas berdiri, berjalan meninggalkan taman sepi itu. Mulai detik itu, Dinda berjanji tidak akan kalah dengan rasa.
Laki-laki itu masih terdiam, tatapannya fokus pada satu titik puncak menara yang ada di hadapannya. Berkali-kali ia berdzikir, beristighfar, hingga akhirnya mengusap wajahnya. Dia benar-benar merasa hina dengan rasa yang mulai memenuhi hatinya 6 bulan belakangan ini. Dan kini, ia sadar. "Yaa Rabbi, tak seharusnya hamba kalah, tak seharusnya hamba lemah dengan rasa ini. Engkaulah sumber kekuatan, maka kuatkanlah hamba untuk melawan rasa ini. Sungguh, hanya Kaulah yang mengetahui apa yang terbaik untuk hamba. Hati ini milik-Mu yaa Rabb, maka jagalah hati ini untuk selalu terarah pada-Mu. Bukan padanya, bukan pada yang lain. Kuatkan hamba dalam jalan-Mu, mengobarkan kebenaran dalam dien-Mu. Bismillah." Ia edarkan pandangannya ke sekitar, sepi, lenggang. Hanya ada dia di sini. Ia raih helm yang ada di spion motornya, lantas memasangnya dengan pasti. Suara motornya mulai terdengar, melenggang pergi meninggalkan parkiran. Mulai detik itu, Dhanu berjanji tidak akan kalah dengan rasa.
Semua ini tanpa sadar telah menguatkan mereka. Sungguh menguatkan mereka, hanya saja terlalu rumit untuk diuraikan. Hingga waktu yang akan menjawab, hingga langit memberikan tandanya, di batas waktu.
(Nisrina Naflah)
Sebenarnya ini konsep cerpen yang tersimpan di laptop, baru jadi beberapa paragraf, lantas terdiamkan beberapa bulan. Kemudian tanpa sengaja terbuka kembali, dan aku bingung alur cerita seperti apa yang ingin kubuat dulu, aku lupa. Alhasil aku selesaikan saja dengan seGAJE-GAJEnya. Rasanya cerpen ini terinspirasi dari cerita temanku dan beberapa cerita yang kutemukan di internet. Hhaha. Kalo gak nyambung, ya berelaan. Kan terserah penulis mau bikin cerita kayak gimana. hhehe. ---> pembelaan diri.