29 November 2014

Rembulan di Matamu (I)

"Gimana? Nanti kalian cari waktu lagi ya, temui saya untuk ujian."

Ucapan dr. Riza terlontar seperti ratusan jarum yang menusuk hati. Seketika mata Desy memanas, kelopak matanya menahan agar tidak menutup hingga menjatuhkan butiran hangat airmata. Bibirnya kelu namun tetap dipaksa tersenyum, palsu.

"Baiklah dokter, terimakasih banyak," lagi-lagi kalimat penuh kepalsuan terlontar begitu saja.

Desy tidak habis pikir, semua terasa begitu menyesakkan. Sejak hari pertama minggu ujian, dia sudah berpikir untuk semangat menyelesaikan ujian agar tidak memanjang hingga minggu liburan. Nihil, sedikitnya pasien baru yang masuk bangsal mengharuskan Desy melanjutkan ujiannya hingga minggu liburan. Pupus sudah angan-angan Desy untuk berlibur menanjak sebuah bukit, mengenang indahnya episode menanjak gunung yang pernah ia lakukan dulu. Minggu ujian pun dilewatinya dengan mengikuti dr. Riza berkeliling rumah sakit, dan ternyata ujiannya pun terpaksa ditunda lagi dan dilanjutkan entah kapan waktu itu tersedia.

Desy berjalan di lorong rumah sakit setelah mengantarkan sang penguji hingga lobby, nafasnya masih terasa berat, pikirannya meronta-ronta meminta petunjuk dari-Nya akan hikmah yang bersembunyi di balik momen menyebalkan ini. Puluhan tanda tanya dan tanda seru terus saja mengiang di telinga, apalagi kata andai. Andai saja begini, andai saja begitu. Ah, dadanya semakin berat menghela nafas.

"Hey Des, gimana ujiannya? Udah kelar kan?" Nisa memanggil dari ujung lorong sambil melambaikan tangan. Tampak teman-teman sekelompok Desy sedang berjalan bersama.

Desy menelan ludah, ia siap melontarkan ribuan kalimat keluh kesah, sumpah serapah, dan segalanya yang membuatnya kecewa. Tapi ia urungkan semua.

"Hhahaha. Ujiannya ditunda lagi. Mungkin ntar habis stase anak," jelas itu tawa yang palsu, nyinyir.

"Hah? Seriusan? Jadi ngapain aja 2 minggu ini? Bukan ujian? Kirain udah ujian," Nisa menimpali dengan penuh empati, entah tulus dari hati atau bagaimana, semua tampak semu.

Desy ikut berjalan di gerombolan itu tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Hanya menyengir ketika ditanya, kadang menjawab ketus dengan tampang kusut tak bersahabat.

Lagi-lagi, Desy tersadarkan dengan kenyataan yang bermain di hadapannya. Lihatlah orang-orang yang dulunya ia hibur di saat sedih. Orang-orang yang selalu ia perhatikan perasaannya. Kemana mereka? Hilang begitu saja, bersikap acuh seakan tak tahu. Ah, hidup memang penuh fatamorgana. Desy kembali menghela nafas, kali ini lebih panjang daripada sebelumnya.

***

Gadget Desy berbunyi, bergegas Desy meraihnya dan membaca pesan yang masuk.

"Woy, gue lagi galau nih. Jalan-jalan yuk, kemana kek."

"Cup cup cup, jangan galau lagi. Yuk kita jalan, lepaskan semua bebaaaan," jawab Desy tanpa pikir panjang.

Lagi-lagi Desy tak kuasa menolak. Kasihan, kasihan, kasihan, pikirnya. Tak peduli uang bulanan yang semakin menipis gara-gara menemani mereka yang sedang galau, tak peduli berapa banyak buku yang tertunda lagi untuk dibaca demi menemani mereka yang sedang sedih. Yang penting mereka jadi hepi, gak sedih lagi, begitu harapnya.

***

Entahlah, rumah sakit membuat semua orang berubah. Bukan berubah mungkin tepatnya, namun kembali menjadi dirinya yang sebenarnya. Desy semakin acuh dengan sekelilingnya. Tidak ada lagi perhatian saat melihat teman-temannya bersedih. Tidak ada lagi kalimat penghibur yang terlontar dari hati. Kalaupun ada, hanya seperlunya dan tak berempati sama sekali.

Hingga datang peristiwa itu, peristiwa yang akan merubah segalanya. Segalanya tentang Desy.

***

To be continue~

-Nisrina Naflah-

(Nb: semua hanya fiktif belaka. Awal2nya aja yang terinspirasi dari kejadian hari ini, selanjutnya biarkan imajinasi yang bermimpi, hingga terangkai menjadi cerbung yang gaje, hhaha. Rembulan di Matamu? Hhahaha)

0 comments:

Posting Komentar

Mohon komentarnya...