30 Maret 2016

Hanya Makmum

"Kebahagiaan hanya makmum di belakang keduanya, ibadah dan berkah."

"Istikharah dan musyawarah."

Dua kalimat yang sangat penting untuk digarisbawahi dari video ust. Salim A. Fillah yang ditonton pagi ini...

-Nisrina Naflah-

20 Maret 2016

Kumat Lagi, Rin?

Penyakit ini kayaknya bener2 residif.
Dia bakalan nyerang lagi di saat keadaan iman lagi lemah.
Lemah selemahnya.
Dan kayaknya si Rina emang susah banget ngelawannya.
Jadinya kambuh lagi, kambuh lagi, dan lagi.
Punya tameng, tapi sering dilupakan, gak dipake.
Punya baju pelindung, tapi sering diacuhkan, gak digunain.
Yaa Allah, bener2 dalam kondisi lemah selemah-lemahnya.
Harusnya tahu, harusnya kuat, harusnya gak dibiarin kumat.
Sayangnya, upaya preventifnya bener2 lemah.
Gak diaplikasikan dengan baik dan benar.
Jadi, pas si virusnya nyerang dan bikin penyakit, ya langsung kumat jadinya.
Padahal setiap manusia udah punya sistem imunnya masing2.
Dan harusnya bisa ngelawan.
Tapi, ah lemahnya si Rina.
Lemah, lemah, lemah.
Yuk, kembali dan sembari diingat2 lagi.
Niat awal dan tujuan awal.

Ayolaaaah Rin!!! :(

-Nisrina Naflah-

19 Maret 2016

Keyakinan

Keyakinan itu letaknya di hati, datangnya dari Allah Maha Tinggi, dan gak bisa dipungkiri.
Sejauh apapun ketidaksesuaian dengan harapan, ketika keyakinan datang, hanya mantap yang terucapkan.
Dan tentunya ikhlas yang senantiasa mengiringi.
Bahkan mungkin mengawali, sebelum keyakinan itu datang dalam hati.

Ikhlas...

-Nisrina Naflah-

7 Maret 2016

Renungan

Pembuka acara pengajian Vina..
Nyentuh hati banget, bikin terharu...

3 Maret 2016

J-O-D-O-H

Seperti tertampar ribuan kali.
Tepat sasaran.
Dan pas sekali waktunya.
Notification line berbunyi usai doa yang dihaturkan.
Kubuka kunci layar.
Ternyata line dari kak Hajjah-murobbiyah baruku.

***

TENTANG JODOH

Kalau dia benar mencintaimu, dia takkan mengkhianatimu.
Kalau dia benar menyayangimu, dia rela berpisah demi kebaikanmu.
Kalau dia benar setia padamu, ia takkan menduakanmu.

Karena masalah jodoh, bukan masalah seberapa tampan atau cantik dirinya.
Bukan seberapa kaya dan terkenal dirinya,
Atau seberapa dekat kau dengannya.

Tapi jodoh adalah masalah kecocokan jiwa.
Dan kesiapan untuk hidup bersama dalam suka dan duka.
Menerima kelebihannya, juga memaklumi kekurangannya.

Bukan titik yang menciptakan tinta. Tapi tintalah yang menyebabkan titik. Bukan cinta yang membuat jadi cantik, tapi karena cintalah ia terlihat cantik.

Moga, yang sedang dalam penantian diberikan keistiqomahan dan sikap positif. Sehingga jika tiba saatnya, moga Allah berikan dia yang akan setia menjadi pendamping hidupmu. Aamiin

***

Kalau dia, kalau dia, kalau dia...
Ini tentang kecocokan jiwa dan kesiapan untuk hidup bersama...
Ya, seperti kalimat yang sering sekali terlontar dari bibir mamah.
"Yang paling penting adalah, keduanya ikhlas..."

Entahlah, semua masih sangat semu, tak bisa ditebak, apalagi dipastikan.

-Nisrina Naflah-

2 Maret 2016

Kenapa Harus Kami?

Kenapa harus kami?

Sebuah pertanyaan yang seringkali muncul begitu saja, setelah abah dipanggil-Nya mendahului kami.
Aku, yg udah bertahun2 ikut liqo sekalipun, masih saja melewati tahap denial seolah tidak menerima kenyataan.
Aku sangat paham dan mengerti bahwa segalanya yang ada di dunia ini sejatinya milik Allah, dan kapanpun Allah ingin mengambilnya kembali, kita bisa apa? Bahkan kita sendiri pun adalah milik-Nya. Kapan saja kematian dapat menghampiri. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Karena sejatinya kita semua milik Allah,
Masih terekam jelas di memori, saat mendengar kabar "Abah sudah kdd, Nak." Waktu itu aku masih berada di Liang Anggang, dalam mobil Muza yang mengantarku ke Banjarbaru setelah aku mendadak dapat telepon usai tutorial-skill lab, bahwa abah masuk IGD dan aku harus segera pulang ke Banjarbaru.
Aku yang sudah kalut sejak mendapat telepon, terus saja berdzikir, memintakan ampun atas abah, entah doa2 apa saja yang kulantunkan pelan namun dalam dan penuh cemas. Otakku juga selalu mengingatkan bahwa kematian adalah hal yang pasti dan kita nggak tahu kapan itu terjadi. Aku mencoba membuang pikiran itu jauh2, tapi tetap saja aku diingatkan oleh hatiku sendiri bahwa kematian itu adalah sesuatu yang pasti.
Hingga sampai pada kalimat yang dilontarkan acil di balik telepon itu, ketika sebelumnya aku marah berontak dan memohon dengan keras, "ABAH KAYAPA CIL? MAMAH MANA? KENAPA MAMAH KADA NELPON RINA? ABAH DIMANA? KISAHI PANG RINA. KENAPA BEDIAM AJA? ABAH KENAPA? KENAPA RINA HARUS LANGSUNG KE RUMAH? RINA HANDAK MELIHAT ABAH, RINA HANDAK KE IGD DULU! ABAH KADA PAPA LO CIL?" Aku terisak, sesak. Muza & Lili terdiam, wajahnya pucat pasi, bingung mau menenangkan, kelu.
Dan akhirnya, aku menerima jawaban yang memastikan bahwa kematian adalah hal yang pasti dan kita nggak tahu kapan itu terjadi. Kita semua milik-Nya. "Abah sudah kdd, Nak." Aku lunglai, tangisku luruh, beberapa detik awal aku mencoba menghibur diri, mungkin dokter salah menilai, mungkin abah bangun lagi. Hanya beberapa detik, kemudian aku sadar, aku beristighfar tanpa henti, menyesal tak sempat bersimpuh memohon ampun sama abah di waktu-waktu terakhir, meratapi aku yang belum bisa membanggakan beliau, memohonkan ampun atas segala dosanya. "Yaa Allah, hamba mohon yaa Allah, ampuni abah, ampuni segala dosa abah, ringankan lah yaa Allah." Kuulang berkali2, otakku sambil berpikir, mencoba mencari2 hikmah dari ujian ini. Ya, Allah mengambil abah duluan supaya blabla, oh ya supaya blabla juga, dan blabla. Hingga akhirnya, satu kalimat itu muncul, "Tapi Yaa Allah, kenapa harus kami? Kenapa harus kami? Aku masih kuliah, Fajar masih SMA, Adie masih SMP. Kenapa harus kami?" Sisi hatiku yang lain mencoba melawan, "Rin, semua ada hikmahnya. Sungguh, pasti banyak sekali hikmah2 yang berceceran dari kejadian ini. Ingat Rin, kematian itu adalah hal yang pasti."
Hingga sampai ke persimpangan dekat rumah, tangisku meledak kembali, sebuah tanda pasti, bendera hijau yang terpasang di depan pagar rumahku dan rombongan orang2 yang datang. Ya Rin, abah sudah berpulang pada-Nya. Aku lunglai lagi. Aku turun dari mobil, disambut para tamu yang melayat, mereka merangkulku yg berjalan gemetar. Hingga tanda pasti kedua yang kulihat di dalam rumah, sebuah jenazah yang tertutup kain coklat, terbujur kaku menghadap kiblat. Di sampingnya ada Fajar yang membaca yasin, dan Adie yang terisak dengan buku yasin di tangannya. Yaa Rabb, sungguh kuatkan hamba. Kupeluk abah, tanpa sadar airmata terus saja mengalir, aku bahkan lupa, sama sekali lupa, bahwa tak baik menangisi mereka yang telah meninggal. Aku bisikkan kalimat mohon ampun, Rina minta ampun Bah, Rina minta ampun, minta ampun, minta ampun. Lagi2, tamu2 yang melayat, entah siapa saja, memelukku dan membisikkan, "Rin, jangan menangis di depan abah. Kada boleh lah. Sabar Rin." Aku mundur, kusapu airmata, kemudian teringat mamah. "Mamah mana? Mamah mana?" Aku langsung berdiri, dan masuk ke ruang tengah, mencari mamah. Ah, mamah di kamar sedang mencari keperluan untuk memandikan abah. Coba lihat, wajahnya lelah, lelah sekali, namun sangat tegar, dan satu hal yang aku tangkap, "ikhlas". Wajah dan senyum yang sangat ikhlas. Tangisku pecah lagi, kudekap mamah erat, kuat, dan pelukan mamah hangat sekali. "Mamah, kenapa abah pulang duluan? Rina masih belum jadi apa2 mah, Rina belum membanggakan abah, kenapa abah pulang duluan?" Sebuah pertanyaan yang benar2 retoris, dan aku pun sebenarnya tahu jawabannya. Mamah mengeratkan dekapannya, tersenyum dan berbisik, "Nak, coba dengarkan mamah. Abah, mamah, Rina, Fajar, Adie, kita semua, sejatinya milik Allah. Diri kita ini haknya Allah. Pemilik sejati kita itu Allah. Jadi kapanpun Allah mau mengambil kita kembali, maka kembalilah kita. Bukan cuma abah Nak. Kita semua juga menunggu dipanggil, menunggu saatnya. Jadi, harus ikhlas ya Nak. InsyaAllah mamah kuat. Anak2 mamah semuanya kuat. Kita kuat, karena Allah yang Maha Kuat pasti selalu menguatkan. Ikhlas ya Nak."

Ah, memori itu terlalu nyata dan jelas, terekam dalam setiap detik. Hingga detik berlalu, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Walaupun terkadang pertanyaan "kenapa harus kami?" muncul dengan sendirinya, terutama di saat2 berat.

"Kenapa harus kami?"
Sebuah pertanyaan kurang ajar, penuh kekufuran nikmat, dan entahlah kenapa kadang2 terselip, terutama di saat cobaan datang silih berganti.

"Kenapa harus kami?'
Pertanyaan yang terpatahkan begitu saja, saat kau renungi jauh lebih dalam, melihat ke bawah, dan ternyata, masih banyak cobaan yang jauh lebih berat yang dialami mereka di luar sana.

Wahai Rabb yang Maha Kuat, kuatkanlah hamba2-Mu yang sangat lemah dan hina ini.

-Nisrina Naflah-

1 Maret 2016

H.I.D.U.P

Di setiap langkah hidup itu selalu diiringi cobaan.
Cobaan satu datang, dihadapi, menerima, dan berlalu. Lantas cobaan selanjutnya menghampiri lagi.
Gak akan pernah berhenti.
Karena pada dasarnya seperti itu lah hidup.
Allah uji dan uji lagi.
Sejauh mana hamba-Nya bisa sabar, ikhlas, dan menjalani.
Dan Allah pun seadil-adilnya Maha Adil.
Dia takkan memberikan cobaan di luar batas kemampuan hamba-Nya.
Dan aku-kami- percaya itu.

Hidup, adalah rangkaian peristiwa, yang telah digariskan oleh-Nya, jauh sebelumnya kita terlahir di dunia.

Jadi.

Hadapi saja, walau kadang terasa berat di awal.

:')

-Nisrina Naflah-