2 Maret 2016

Kenapa Harus Kami?

Kenapa harus kami?

Sebuah pertanyaan yang seringkali muncul begitu saja, setelah abah dipanggil-Nya mendahului kami.
Aku, yg udah bertahun2 ikut liqo sekalipun, masih saja melewati tahap denial seolah tidak menerima kenyataan.
Aku sangat paham dan mengerti bahwa segalanya yang ada di dunia ini sejatinya milik Allah, dan kapanpun Allah ingin mengambilnya kembali, kita bisa apa? Bahkan kita sendiri pun adalah milik-Nya. Kapan saja kematian dapat menghampiri. Mau tidak mau. Suka tidak suka. Karena sejatinya kita semua milik Allah,
Masih terekam jelas di memori, saat mendengar kabar "Abah sudah kdd, Nak." Waktu itu aku masih berada di Liang Anggang, dalam mobil Muza yang mengantarku ke Banjarbaru setelah aku mendadak dapat telepon usai tutorial-skill lab, bahwa abah masuk IGD dan aku harus segera pulang ke Banjarbaru.
Aku yang sudah kalut sejak mendapat telepon, terus saja berdzikir, memintakan ampun atas abah, entah doa2 apa saja yang kulantunkan pelan namun dalam dan penuh cemas. Otakku juga selalu mengingatkan bahwa kematian adalah hal yang pasti dan kita nggak tahu kapan itu terjadi. Aku mencoba membuang pikiran itu jauh2, tapi tetap saja aku diingatkan oleh hatiku sendiri bahwa kematian itu adalah sesuatu yang pasti.
Hingga sampai pada kalimat yang dilontarkan acil di balik telepon itu, ketika sebelumnya aku marah berontak dan memohon dengan keras, "ABAH KAYAPA CIL? MAMAH MANA? KENAPA MAMAH KADA NELPON RINA? ABAH DIMANA? KISAHI PANG RINA. KENAPA BEDIAM AJA? ABAH KENAPA? KENAPA RINA HARUS LANGSUNG KE RUMAH? RINA HANDAK MELIHAT ABAH, RINA HANDAK KE IGD DULU! ABAH KADA PAPA LO CIL?" Aku terisak, sesak. Muza & Lili terdiam, wajahnya pucat pasi, bingung mau menenangkan, kelu.
Dan akhirnya, aku menerima jawaban yang memastikan bahwa kematian adalah hal yang pasti dan kita nggak tahu kapan itu terjadi. Kita semua milik-Nya. "Abah sudah kdd, Nak." Aku lunglai, tangisku luruh, beberapa detik awal aku mencoba menghibur diri, mungkin dokter salah menilai, mungkin abah bangun lagi. Hanya beberapa detik, kemudian aku sadar, aku beristighfar tanpa henti, menyesal tak sempat bersimpuh memohon ampun sama abah di waktu-waktu terakhir, meratapi aku yang belum bisa membanggakan beliau, memohonkan ampun atas segala dosanya. "Yaa Allah, hamba mohon yaa Allah, ampuni abah, ampuni segala dosa abah, ringankan lah yaa Allah." Kuulang berkali2, otakku sambil berpikir, mencoba mencari2 hikmah dari ujian ini. Ya, Allah mengambil abah duluan supaya blabla, oh ya supaya blabla juga, dan blabla. Hingga akhirnya, satu kalimat itu muncul, "Tapi Yaa Allah, kenapa harus kami? Kenapa harus kami? Aku masih kuliah, Fajar masih SMA, Adie masih SMP. Kenapa harus kami?" Sisi hatiku yang lain mencoba melawan, "Rin, semua ada hikmahnya. Sungguh, pasti banyak sekali hikmah2 yang berceceran dari kejadian ini. Ingat Rin, kematian itu adalah hal yang pasti."
Hingga sampai ke persimpangan dekat rumah, tangisku meledak kembali, sebuah tanda pasti, bendera hijau yang terpasang di depan pagar rumahku dan rombongan orang2 yang datang. Ya Rin, abah sudah berpulang pada-Nya. Aku lunglai lagi. Aku turun dari mobil, disambut para tamu yang melayat, mereka merangkulku yg berjalan gemetar. Hingga tanda pasti kedua yang kulihat di dalam rumah, sebuah jenazah yang tertutup kain coklat, terbujur kaku menghadap kiblat. Di sampingnya ada Fajar yang membaca yasin, dan Adie yang terisak dengan buku yasin di tangannya. Yaa Rabb, sungguh kuatkan hamba. Kupeluk abah, tanpa sadar airmata terus saja mengalir, aku bahkan lupa, sama sekali lupa, bahwa tak baik menangisi mereka yang telah meninggal. Aku bisikkan kalimat mohon ampun, Rina minta ampun Bah, Rina minta ampun, minta ampun, minta ampun. Lagi2, tamu2 yang melayat, entah siapa saja, memelukku dan membisikkan, "Rin, jangan menangis di depan abah. Kada boleh lah. Sabar Rin." Aku mundur, kusapu airmata, kemudian teringat mamah. "Mamah mana? Mamah mana?" Aku langsung berdiri, dan masuk ke ruang tengah, mencari mamah. Ah, mamah di kamar sedang mencari keperluan untuk memandikan abah. Coba lihat, wajahnya lelah, lelah sekali, namun sangat tegar, dan satu hal yang aku tangkap, "ikhlas". Wajah dan senyum yang sangat ikhlas. Tangisku pecah lagi, kudekap mamah erat, kuat, dan pelukan mamah hangat sekali. "Mamah, kenapa abah pulang duluan? Rina masih belum jadi apa2 mah, Rina belum membanggakan abah, kenapa abah pulang duluan?" Sebuah pertanyaan yang benar2 retoris, dan aku pun sebenarnya tahu jawabannya. Mamah mengeratkan dekapannya, tersenyum dan berbisik, "Nak, coba dengarkan mamah. Abah, mamah, Rina, Fajar, Adie, kita semua, sejatinya milik Allah. Diri kita ini haknya Allah. Pemilik sejati kita itu Allah. Jadi kapanpun Allah mau mengambil kita kembali, maka kembalilah kita. Bukan cuma abah Nak. Kita semua juga menunggu dipanggil, menunggu saatnya. Jadi, harus ikhlas ya Nak. InsyaAllah mamah kuat. Anak2 mamah semuanya kuat. Kita kuat, karena Allah yang Maha Kuat pasti selalu menguatkan. Ikhlas ya Nak."

Ah, memori itu terlalu nyata dan jelas, terekam dalam setiap detik. Hingga detik berlalu, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun. Walaupun terkadang pertanyaan "kenapa harus kami?" muncul dengan sendirinya, terutama di saat2 berat.

"Kenapa harus kami?"
Sebuah pertanyaan kurang ajar, penuh kekufuran nikmat, dan entahlah kenapa kadang2 terselip, terutama di saat cobaan datang silih berganti.

"Kenapa harus kami?'
Pertanyaan yang terpatahkan begitu saja, saat kau renungi jauh lebih dalam, melihat ke bawah, dan ternyata, masih banyak cobaan yang jauh lebih berat yang dialami mereka di luar sana.

Wahai Rabb yang Maha Kuat, kuatkanlah hamba2-Mu yang sangat lemah dan hina ini.

-Nisrina Naflah-

0 comments:

Posting Komentar

Mohon komentarnya...