25 September 2016

Untitled sekian

❤❤❤

23 September 2016

Minimal 4

"Rin, ntar kamu mau punya anak berapa?"

"Hemmm, aku pengen punya anak minimal 4 orang, hhehe.."

"Wuih, banyak juga ya... Kenapa minimal 4?"

"Aku aja 3 bersaudara mamah ngerasa kesepian, aku kuliah-koas di Banjarmasin, Fajar di Malang. Mamah berdua aja sama Adie di rumah. Kata mamah, bersyukur banget udah dikasih 3 orang anak, rasanya sih dulu 3 anak itu udah cukup banyak, ternyata pas udah gede2 3 itu berasa kurang. Jadi aku mikir, aku mau punya anak lebih dari 3, ya minimal 4 lah. Selain itu, aku juga terinspirasi dari novel serial anak mamaknya Tere Liye yang ada 4 buku, menceritakan 4 orang anak dengan keunggulan dan karakter masing2 yang luar biasa. Aku pengeeeeeen banget jadi ibu dari anak2 yang luar biasa."

Perbincangan yang penuh dengan antusiasme seorang Rina yang selalu punya harapan & target masa depan. Kalo ingat target ini, jadi sedih sendiri, membayangkan kondisi sekarang. Walaupun sebenarnya sudah jelas, keyakinan tentang takdir dan janji Allah. Allah yang menggenggam rezeki, Allah pula yang berkuasa membagikannya kepada setiap hamba-Nya.

Semoga selalu berbaik sangka, tawakal, serta ikhtiar sebaik2nya.

Love of my lifeeeeee... Senandung indah ini selalu terngiang, merdu.

:)

-Nisrina Naflah-

11 September 2016

Cobaan itu Selalu Datang Nggak Pernah Pergi

Shabr
Shabr
Shabr

InsyaAllah setelah kesulitan, ada kemudahan..
Di setiap kesulitan, ada kemudahan..

Semoga semuanya baik2 saja..
Semoga harapan itu dapat terus terjaga, hingga akhirnya terasa..
Semoga akan ada "dia" yang selalu berjalan di samping dan menguatkan..

Dan semoga semuanya akan baik2 saja..

-Nisrina Naflah-

10 September 2016

Waktu

Alhamdulillaah, pagi ini masih bisa buka mata, menghirup napas, dan bahagia. Thanks yaa Rabb..

Oke, kali ini entah kenapa pengen cuap2 tentang waktu. Yap, waktu. Sesuatu yang tak berwujud, yang selalu menjadi obat penawar dari setiap kesedihan. Entah itu kehilangan, rasa sakit dan kecewa, semuanya.

Aku pernah baca sebuah buku yg berjudul Genap, isinya sebenarnya tentang curahan hati seorang istri gitu di awal2 kehidupan rumah tangga. Di salah satu bab, diceritakan bahwa sebelum dia akhirnya menikah dengan suaminya yang sekarang, ia pernah berproses dengan seorang laki2 yang mengkhitbah dia, dimana mereka berdua saling mencintai satu sama lain. Di mata si cewek ini, laki2 itu bener2 sosok yang ia harapkan menjadi suaminya, dan ia sangat yakin kala itu. Namun, realita gak sejalan dengan harapan guys, proses yang mereka jalani harus kandas di tengah/bahkan nyaris di ujung jalan persiapan pernikahan. Dan gak usah ditanya lagi, betapa sedihnya si cewek itu. Kehilangan sosok yang, well selama ini udah ia harapkan bisa bersanding dengannya di pelaminan, yg bisa menggenapi kehidupannya. Jujur, dulu pas baca bagian ini aku terkesima dan membayangkan "Gilaaa, gimana rasanya ya udah khitbahan gitu, udah oke, trus tiba2 batal? Sedih bgt pasti ni cewek, mana umurnya udah mateng dan memang udh siap buat nikah. Kasiaaaaan banget." Dan waktu itu, aku lanjutkan kembali membaca. Lagi2 aku terkesima sama sosok peran utama dalam buku ini. Dia bener2 terpuruk, yg awalnya semangat buat melatih diri jadi "IRT" yang luar biasa, jadi gak ada minat gitu. Dalam bab itu diceritakan cewek itu akhirnya sadar dia gak mungkin terus2an melarutkan diri dalam kesedihan gitu, akhirnya dia menetapkan waktu, sampai kapan dia boleh menikmati kesedihannya itu, dan ketika waktunya udah habis, dia akan melawan segalanya untuk MOVE ON dan membuka lembaran baru lagi. MasyaAllah, kebayang gak sih betapa strugglenya dia. Awalnya aku pikir, lebay banget ni cewek, cuman batal nikah gitu doang sedihnya berlarut2. Ya bagus lah dia batal nikah, akhirnya kan dia dapat sosok suami yang sekarang, yang MasyaAllah banget karakter dan personalianya. Iyaaa waktu itu kan aku udah tau ceritanya si cewek setelah kejadian itu, lhaaaa aku gak mikir kalo waktu si cewek itu batal nikah, dia masih gak tau kebahagiaan apa yang menantinya selepas dari kesedihannya itu. Ya wajaaaaar lah sedih, hhaha. Di bab itu diceritain si cewek netapin waktu buat sedih2 kalo gak salah selama 1 bulan, setelah itu dia kembali berusaha menemukan jodohnya yang sejati. Wuiiiih..

Dan emang bener, aku ngerasain apa yang dirasain cewek dalam buku Genap itu. Aku jadi ngerasa lucu sendiri kalo ingat komentarku dulu pas baca bagian itu. Sok2an banget bilangin si cewek itu lebay sedihnya sampai 1 bulan. Ternyata, emang perlu waktu. Lagian ini menyangkut pernikahan guys, bukan hubungan main2 ala anak alay yang gak jelas keseriusannya. Otomatis, sedih banget laaah kalo batal. Dan ternyata memang semua kesedihan perlu penawar berupa waktu. Karena waktu yang akan menyembuhkan, menguatkan, dan yang terpenting waktu yang akan membiasakan.

Simply, kita semua memang perlu waktu guys. Jangan pernah menghujat diri sendiri ketika merasa lemah, berikan ketegasan pada hati, and let's enjoy the scene from Allah. Believe in Allah, believe that Allah always give everything the best for you!

-Nisrina Naflah-

5 September 2016

Sekilas Info Tentang Pembatalan Khitbah

Rangga - Surabaya

Asalamualaikum.
Ustadz, mau tanya seputar penolakan pihak akhwat kepada lamaran seorang ikhwan.

Saya pernah dengar kajian bahwa orang tua (wali) jika sudah didatangi jodoh bagi anak perempuannya yg mana jodoh tsb baik dari agama dan akhlaknya, maka orang tua tsb disuruh menerimanya. Atau kalaupun menolak harus berhubungan dr dua ini (agama dan akhlak).. Saya samar2 jg mendengarnya, tp itu berasal dr hadits klo tidak salah.

*Pertanyaannya* adalah, "Apakah benar begitu ustadz?" Adapun para ikhwan jika ditolak dan  penjelasan alasan ditolakny bukan karena 2 hal tersebut bagaimana ustadz apakah masih bisa diperjuangkan?

Itu klo dr sudut pandang ikhwan ya ustadz. Nah ini ad jg dr sudu pandang akhwatnya (cerita nyata dr teman saya sendiri soalnya). Begini..

Temen akhwat saya dekat dg seorang ikhwan (sebut saja si A). Mereka sudah dekat dan "terlihat" mau berkomitmen untuk segera menikah. Nah, karena takdir Allah, si A ini mendapat kerja di luar pulau nan jauh dr si akhwat ini. Sekitar 2 thnan LDR dan belum "dikhitbah", ada ikhwan lain (si B) yg insya Allah baik agama dan akhlaknya datang mengkhitbah si akhwat. Akhir cerita saat ini mereka pun menikah.
Si A, pada dasarnya baik agama dan akhlaknya (menurut saya) namun sedang berikhtiar menyiapkan maisyah masa depannya. Namun pihak si akhwat menerima si B.

*Pertanyaannya* adalah "Apakah si akhwat tsb boleh menolak si B ketika dtg khibah yg dinanti segera itu? Kalau boleh menolak, apakah karena alasannya adalah si akhwat dan si A sudah saling cocok?
Mohon penjelasannya y ustadz.

Afwan jika panjang.�
Jazakallah khoir katsir

Salam

Jawaban :

Wa'alaikummussalaam warahmatullah wabarakaatuh

Bilal melamar seorang wanita Quraisy (suku terhormat) untuk dinikahkan dengan saudaranya. Ia berkata kepada keluarga wanita Quraisy, “Kalian telah mengetahui keberadaan kami. Dahulu kami adalah para hamba sahaya, lalu kami dimerdekakan Allah. Kami dahulu adalah orang-orang tersesat, lalu kami diberikan hidayah oleh Allah. Kami dulunya fakir, lalu kami dijadikan kaya oleh-Nya. Kini, kami akan melamar wanita Fulanah ini untuk dijodohkan dengan saudaraku. Jika kalian menerimanya, maka alhamdulillah (segala puji bagi Allah). Dan, bila kalian menolak, maka Allahu Akbar (Allah Maha Besar).”

Anggota keluarga wanita itu tampak saling memandang satu dengan yang lainnya. Mereka lalu berkata, “Bilal termasuk orang yang kita kenal kepeloporan, kepahlawanan, dan kedudukannya di sisi Rasulullah n. Maka, nikahkanlah saudaranya dengan putri kita.” Mereka lalu menikahkan saudara Bilal dengan wanita Quraisy tersebut. Usai itu, saudara Bilal berkata kepada Bilal, “Mudah-mudahan Allah l mengampuni. Apa engkau menuturkan kepeloporan dan kepahlawanan kami bersama dengan Rasulullah, sedang engkau tidak menuturkan hal-hal selain itu?”

Bilal menjawab, “Diamlah saudaraku, kamu jujur, dan kejujuran itulah yang menjadikan kamu menikah dengannnya.” (Al Mustathraf, I : 356).

Tidak mudah memang mengambil langkah besar melamar seorang wanita. Di manapun lelaki biasanya merasa deg-degan untuk memulainya. Ada perasaan takut ditolak serta harapan untuk diterima membuat langkah jadi maju-mundur. Tapi, memang harus ada keberanian untuk mencoba agar jelas dan tak mati penasaran dibuatnya. Mungkin, perasaan ini mewakili mayoritas perasaan kaum laki-laki.

Maklum, dalam proses mewujudkan harapan berumah tangga banyak rintangan dan tantangan yang menghadang seseorang. Salah satunya adalah masalah khitbah (melamar calon istri). Banyak pernik-pernik yang menghiasi perjalanan seseorang dalam proses lamarannya.

Namun, tidak selamanya pinangan berujung pada pernikahan. Kadang kala, pinangan harus berhenti sebelum dilangsungkannya ijab qabul, dalam arti tidak selamanya pinangan harus diterima oleh yang pihak yang meminang, atau orang yang meminang mengurunkan niatannya untuk melangkah lebih jauh, yakni pernikahan.

Hukum meminang

Khitbah atau meminang bukanlah syarat sahnya sebuah pernikahan. Seandainya sebuah pernikahan dilaksanakan tanpa khitbah sekalipun, pernikahan tersebut tetap sah. Pada umumnya, khitbah merupakan jalan menuju pernikahan. Menurut jumhur ulama, khitbah itu diperbolehkan, sesuai dengan firman Allah swt, “Dan tidak ada dosa bagi kamu meminang wanita-wanita itu…” (Al-Baqarah [2] : 235)

Pendapat yang dipercaya oleh para pengikut mazhab Syafi‘i adalah khitbah hukumnya sunnah, sesuai dengan perbuatan Rasulullah n, di mana beliau meminang Aisyah binti Abu Bakar dan Hafshah binti Umar c. Hal ini boleh dilakukan jika pada diri wanita tersebut tidak ada penghalang yang membuatnya tidak boleh dinikahi. Jika ada penghalang, maka khitbah tidak boleh dilakukan.

Dalam kitab Hasyiyah ‘alal Muhalla, Syaikh Syihabuddin Al-Qalyubi berkata, “Sesungguhnya khitbah itu memiliki hukum yang sama dengan hukum pernikahan, yaitu; wajib, sunnah, makruh, haram, ataupun mubah. Sunnah jika pria yang akan meminang termasuk orang yang disunnahkan untuk menikah. Contohnya, orang yang telah memiliki kemampuan untuk menikah, dan ia tidak merasa khawatir dirinya akan terjerumus dalam perzinaan. Makruh, jika pria yang akan meminang termasuk orang yang dimakruhkan baginya untuk menikah. Sebab, hukum sarana itu mengikuti hukum tujuan.

Khitbah yang hukumnya diharamkan menurut ijma‘ adalah mengkhitbah wanita yang sudah menikah, mengkhitbah wanita yang ditalak dengan talak raj‘i sebelum selesai masa iddahnya, sebab statusnya masih sebagai wanita yang telah menikah.

Sedangkan, khitbah juga diharamkan bagi orang yang memiliki empat istri, termasuk khitbah terhadap wanita yang antara dirinya dan istri si peminang diharamkan untuk disatukan sebagai istri, mengkhitbah wanita yang sudah dikhitbah oleh orang lain dan lain-lain yang akan dijelaskan nanti.

Khitbah hukumnya wajib bagi orang yang merasa khawatir akan terjerumus dalam perzinaan jika tidak segera meminang dan menikah. Sedangkan, khitbah hukumnya mubah dan halal jika wanita tersebut dalam kondisi kosong dari pernikahan, serta tidak ada suatu halangan hukum yang menghalangi untuk dilamar.

Membatalkan Pinangan

Perlu dipahami sebelumnya bahwa pinangan itu bukanlah ikatan. Ia hanyalah janji untuk mengikat suatu. Sedangkan janji untuk mengikat suatu itu tidak selalu harus terlaksana, menurut jumhur ulama. Sehingga, sang wali tidak salah bila menarik kembali jawabannya bila ia melihat adanya suatu maslahat bagi wanita yang dipinang.

Wanita yang dipinang itu sendiri tidak ada salahnya bila ia menarik kembali janjinya bila tidak menyukai si peminang. Sebab, nikah merupakan ikatan seumur hidup, di mana kekhawatiran akan terus-menerus ada di dalamnya. Karena itu, wanita yang hendak menikah harus berhati-hati dengan dirinya sendiri dan memperhatikan keberuntungannya.

Akan tetapi, apabila wali atau tunangan menarik kembali janji tersebut tanpa tujuan apa pun, hal itu tidak dibenarkan. Karena itu termasuk pengingkaran janji dan menjilat ludah sendiri. Namun, hukumnya tidak sampai haram, karena sebenarnya itu belum wajib baginya. Ini seperti seseorang yang menawar suatu barang kemudian muncul niat pada dirinya untuk tidak jadi membelinya.

Seorang peminang juga makruh meninggalkan wanita yang telah dilamarnya, bila sang wanita telah cenderung kepadanya, sementara para peminang yang lain telah tertutup jalannya untuk meminangnya, karena ia hanya tertarik kepada si peminang itu.

Atas dasar inilah, hukum membatalkan lamaran sesudah adanya kecenderungan masing-masing pihak itu berbeda-beda, menurut perbedaan penyebabnya :

1. Bila pembatalan tersebut karena tujuan yang benar, maka hal itu tidak makruh.

2. Bila pembatalan tersebut tidak ada sebabnya, maka hal itu makruh, karena itu dapat membuat hati orang lain hancur. Bahkan, pembatalan tersebut bisa sampai ke tingkatan haram, yaitu apabila si wanita telah menaruh kecenderungan kepada si peminang, sementara para peminang yang lain telah tertutup jalannya untuk meminang dirinya, kemudian si peminang itu membatalkan pinangannya. Allah l berfirman, “Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (Ash-Shaff [61] : 3).

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari hadits Abu Hurairah, bahwa Nabi n bersabda:

آيَةُ اْلمُنَافِقِ ثَلاَثٌ، إِذَا حَدَثَ كَذَبَ، وَإِذَا أؤْتُمِنَ خَانَ، وَإِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ

”Tanda-tanda orang munafik itu ada tiga; bila berbicara ia berdusta, bila dipercaya ia khianat, dan bila berjanji ia menyelisihi.”

3. Bila pembatalan tersebut disebabkan adanya peminang lain yang datang kepadanya, maka hal ini adalah haram, berdasarkan apa yang telah kita bahas sebelumnya.

Etika Menolak Pinangan

Sebagai agama yang menekankan kasih sayang di tengah-tengah umatnya, Islam memerintahkan agar kita menghargai perasaan orang lain. Tak ketinggalan, dalam masalah pinangan, Islam memberikan suri tauladan yang baik bagaimana kode etik dalam menolak sebuah pinangan, bilamana jalan tersebut adalah pilihan terbaik bagi seseorang.

Dalam Islam, seorang wanita juga boleh menawarkan dirinya sendiri kepada seorang laki-laki shalih agar menikahinya, jika aman dari fitnah. Hal ini pernah terjadi dalam kisah seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi n. Hadits tersebut diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bab ‘Ardhil Mar‘ati Nafsaha ‘alar Rajulish Shalih, dari hadits Sahl bin Sa‘ad, bahwa ada seorang wanita yang menawarkan dirinya kepada Nabi n. Kemudian ada seseorang yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, nikahkanlah saya dengannya.” “Apa yang kamu miliki (sebagai maharnya)?” tanya beliau. “Saya tidak memiliki apa-apa.” “Pergi dan carilah walaupun hanya cincin yang terbuat dari besi.”

Orang itu pun pergi lalu kembali lagi seraya berkata, “Demi Allah, saya tidak mendapatkan sesuatu walaupun hanya sebuah cincin yang terbuat dari besi. Namun, saya memiliki sarung ini, dan wanita tersebut berhak atas setengah sarung ini.” Sahl menambahkan, “Orang tersebut tidak memiliki pakaian sama sekali (kecuali sarungnya).” Maka Rasulullah bersabda, ‘Apa yang dapat engkau perbuat dengan setengah sarungmu itu, saat engkau memakainya?” Setelah duduk lama, orang itu pun beranjak pergi.

Saat beliau melihatnya, beliau pun memanggilnya—atau dipanggil untuk menghadap beliau–. Beliau bertanya kepadanya, “Apakah engkau memiliki hafalan Al-Quran?” “Saya hafal surat ini dan itu—yaitu beberapa surat–.” Nabi n lalu bersabda, “Aku menjadikan wanita itu sebagai milik (istri) mu dengan mahar hafalan Al-Quran yang ada padamu.”

Demikian pula, seorang wali boleh menawarkan wanita yang perwaliannya ada di tangannya kepada orang-orang yang memiliki kebaikan. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khaththab ketika menawarkan putrinya, Hafshah x, kepada Utsman bin Affan, lalu kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq c.

Bukhari telah meriwayatkan dalam hadits no. 5122, kitab An-Nikah, dari Abdullah bin Umar c bahwa ia berkata, “Tatkala Hafshah binti Umar menjadi janda setelah bercerai dengan Khunais bin Hudzafah As-Sahmi—salah seorang sahabat Rasulullah n yang wafat di Madinah–, maka Umar bin Khaththab berkata, ‘Aku mendatangi Utsman bin Affan dan aku tawarkan Hafshah kepadanya. Utsman menjawab, ‘Saya akan mempertimbangkannya.’ Aku menunggu selama beberapa malam. Kemudian ia menemuiku seraya berkata, ‘Saya pikir, pada waktu ini aku belum berminat untuk menikah.’”

Umar melanjutkan, “Aku lalu menemui Abu Bakar Ash-Shiddiq dan berkata, ‘Jika engkau mau, aku akan menikahkanmu dengan Hafshah binti Umar.’ Abu Bakar hanya diam dan tidak memberi jawaban kepadaku. Maka, aku pun tahu bahwa ia akan menjawab sebagaimana jawaban Utsman. Lantas, aku pun berdiam diri selama beberapa malam. Beberapa malam kemudian, Rasulullah n meminang Hafshah, maka aku pun menikahkannya untuk beliau. Setelah itu, Abu Bakar menemuiku seraya berkata, ‘Barangkali engkau marah kepadaku saat engkau menawarkan Hafshah dan aku tidak memberi jawaban kepadamu?’ Aku pun menjawab, ‘Benar.’

Abu Bakar berkata, ‘Tidak ada yang mencegahku untuk memberikan jawaban kepadamu atas sesuatu yang engkau tawarkan kepadaku, melainkan karena aku telah mendengar bahwa Rasulullah n telah menyebut-nyebut namanya (Hafshah). Dan, aku tidak mau membuka rahasia beliau. Seandainya beliau tidak menikahinya, tentu aku akan menerimanya’.”

Dalam Fathul Bari, IX : 178, Al-Hafizh Ibnu Hajar memberikan ulasan hadits ini dengan pernyataannya, “Dalam hadits tersebut terdapat dalil mengenai bolehnya seseorang untuk menawarkan anak perempuannya atau wanita-wanita lain yang menjadi tanggung jawabnya kepada seseorang yang dipercaya kebaikan dan keshalihannya. Sebab, dalam hal ini ada manfaat bagi orang yang ditawarkan dan ia tidak merasa malu dalam hal tersebut.

Hadits tersebut juga menunjukkan bahwa menawarkan seorang wanita kepada orang yang telah beristri tidak ada salahnya. Sebab, pada saat itu, Abu Bakar pun telah beristri. Bahkan, persoalan semacam ini juga telah berlaku dalam syari‘at umat sebelum kita. Yaitu, Nabi Syu‘aib, orang shalih, yang telah berkata kepada Musa q seperti yang disebutkan dalam al-Quran, “Dia (Syu’aib) berkata, ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun.” (Al-Qashash [28] : 178). Riwayat-riwayat di atas juga menunjukkan dibolehkannya menolak tawaran. Tapi, tentunya harus dengan cara yang baik.

Secara khusus, seorang wanita dibolehkan menolak sebuah pinangan. Dalam sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai izin. Seorang gadis tidak boleh dinikahkan sebelum dimintai persetujuan.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulallah, bagaimana tanda persetujuan seorang gadis?” Beliau menjawab, “Tanda persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Bukhari, Muslim dan selainnya)

Hadits di atas secara jelas menunjukkan bahwa bila seorang laki-laki ingin menikahi seorang wanita, baik janda ataupun gadis, maka harus dengan izin atau persetujuan wanita itu terlebih dahulu. Itu berarti seorang wanita mempunyai hak untuk menerima atau menolak lamaran seseorang. Karena pembatalan juga menunjukkan ketidaksetujuan untuk dinikahi, dan cukuplah hadits di atas sebagai dalilnya.

Ada sebuah riwayat yang menyebutkan bahwa ada seorang gadis menemui Rasulullah lalu bercerita tentang ayahnya yang menikahkannya dengan laki-laki yang tidak ia sukai. Maka, Rasulullah memberi hak kepadanya untuk memilih.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, dan Ibnu Majah). Dalam riwayat Ahmad dan Nasa’i disebutkan bahwa wanita tersebut, lalu ia berkata, “Aku telah mengizinkan apa yg dilakukan bapakku itu. Hanya saja, aku ingin kaum wanita tahu bahwa seorang ayah itu tidak berhak memaksa anaknya kawin dengan seseorang.”

Dengan demikian, maka membatalkan pinangan itu dibolehkan, baik dari pihak laki-laki maupun perempuan, dengan tetap melihat kemashlahatan kedua belah pihak. Sehingga, kalaupun pinangan harus pupus di tengah jalan, namun ukhuwah islamiyah tetap terjalan dan tidak sampai tali silaturrahmi terputus. Hal tersebut dapat terwujud bilamana setiap muslim menyadari bahwa permasalahan jodoh adalah salah satu bagian dari takdir dari Allah Ta’ala.

Allahu A'lam

Sumber: KIPRAH ONLINE

4 September 2016

Mainan Masak2an Kue

Alhamdulillaah alhamdulillaah alhamdulillaah.
Nikmat Allah itu luar biasa yak.
Semoga segala sakit yang dirasakan, bisa jadi penghapus dosa2 yang berserakan (saking banyaknya).

Gak banyak cincong, postingan kali ini hanya untuk mengabadikan salah satu mozaik kehidupan yang terlewatkan bersama para acil2 awesome ini (Febri, Krisna, Tiya.red)

Tadi kami bikin kue.. Red velvet mocaf brownies sama strawberry cheese cake.. Seruuu banget.. Penuh eksperimen, DIYan, daaaan hemat segala bahan yang ada manfaatkan, wkwkwk..

Dan beginilah keseruan kita..

NB: pas lagi bikin2 adonan dan lain sebagainya, kita sempat ngobrol2 tentang pandangan laki2 kalo liat perempuan2 lagi ribut masak/bikin kue, kira2 apa ya komentarnya?
"Ah, ni cewek ribet amat, mending beli aja sekalian kuenya."
"Behhh, cewek2 ini kalo bikin kue rempong banget, lama lagi, buang2 waktu."

Dan aku mikirnya, apa ada ya cowok yang gini?
"Wah, kerennya istriku bikin kue, pasti enak."

Wkwkwkwkwk, baper lagi baper lagi..

Hey jodohku, lagi baca postingan ini? Ntar kalo aku lama di dapur atau sok sibuk di dapur, jangan protes yak.. Yaaa minimal dikasih semangat, kalo bisa bantuin sekalian.. Hhahaha..

Thanks for today my acil2 tersayang, Febri, Krisna, dan Tiyaaa!!!

Next time, kue2 asin lagi yah..

-Nisrina Naflah-