26 Januari 2011

Mimpi Bersama Stetoskop

Semilir angin menari-nari di sela-sela pepohonan. Teduh dan rindang. Kampus yang cukup tua di kota ini. Di depan kampus terpampang huruf-huruf yang tersusun rapi merangkai kata-kata yang menunjukkan nama kampus ini. Fakultas Kedokteran Universitas Borneo.
Braak!
Kututup pintu mobilku dengan kencang, usai menguncinya, aku pun bergegas mengambil ancang-ancang untuk berlari. Kutengok jam yang melingkar indah di pergelangan tanganku, jarum pendeknya menuju arah angka 9 dan jarum panjangnya menunjuk ke arah angka 2. Sial, aku terlambat 10 menit. Hari ini ada tutorial di gedung IV dan itu berarti penilaian untuk kehadiranku sudah 0 di depan mata. Huft! Aku menggerutu dalam hati, gemas dengan paman becak yang menghalangi jalanku tadi.
Yap, sebenarnya tadi aku sudah siap untuk berangkat ke kampus dari jam setengah 9, jarak rumahku ke kampus hanya menempuh waktu kurang lebih 20 menit. Kupikir aku masih sempat ngobrol-ngobrol dulu sama teman-teman sebelum masuk ke ruang BBM. Tapi, entah mimpi apa aku semalam, di pertigaan jalan menuju kampus tidak sengaja aku menabrak seorang anak yang berseragam SD. Ups, bukan aku yang menabrak, melainkan anak itu yang menabrak mobilku.
Dari lambang yang tertempel di dadanya, aku tahu anak itu masih duduk di bangku kelas 5 SD. Sebuah kotak ikut terjatuh seiring dengan jatuhnya anak itu. Kotak putih dengan tanda ‘plus’ berwarna merah di depannya, kotak P3K. Kuperiksa tubuh anak itu, syukurlah tidak ada luka parah yang terlihat, hanya sedikit luka kecil di telapak tangannya. Kutatap wajahnya, tiba-tiba saja otakku mencoba mencari memori yang mestinya masih tersimpan. Aku merasa pernah melihat anak itu, tapi kapan? Dimana? Ah, otakku sudah penuh dengan bahan-bahan tutorial yang kupelajari semalaman suntuk.
Hatiku tergerak untuk mengantar anak itu. Ah, ini salah satu kelemahanku. Selalu merasa bersalah, padahal anak itu yang main nyebrang jalan sembarangan. Tapi, aku juga sih yang salah, seharusnya bisa lebih hati-hati. Huft! Alhasil, dengan setengah hati kuantar anak itu ke sekolahnya. Mengapa setengah hati? Karena setengah hatiku yang lain sibuk protes memikirkan jam yang terus berputar, jam 9 kurang 15 menit, bisa-bisa aku telat kalo ngantar anak ini dulu. Ah! Sudah terlanjur, mau gimana lagi.
Anak itu namanya Humaira, mengingatkanku dengan nama julukan untuk Aisyah, istri Rasulullah, yang artinya putih kemerah-merahan, persis dengan pipinya yang merah merona. Kebetulan sekolahnya lagi direnovasi jadi dia masuk agak siang jam setengah 10, gantian sama anak kelas 1, begitu katanya. Dia anak yang supel, sopan dan ramah. Dari ceritanya aku tahu bahwa dia adalah anak PMR, pantas dia bawa-bawa kotak P3K. Dia anak yang suka bercerita, terlebih tentang PMR, sepertinya Humaira sangat tertarik di bidang kemanusiaan. Aku salut melihat semangatnya dalam bercerita, tapi aku hanya sekadar ber-Oh-ria ataupun tersenyum saat mendengar ceritanya. Konsentrasiku terbagi-bagi, nyetir dan yang pasti mikirin tutorial yang menyeringai menunjukkan gigi taringnya. Kulihat jam digital mobilku, ah sudah jam 9 kurang 10 menit. Aaarrrggghhh!
Setelah sampai di sekolahnya, Humaira berterimakasih dan bersalaman denganku. Ah, sopan sekali anak ini. Dia turun dari mobilku sambil mengucapkan salam.
“Wa’alaikumussalam Warahmatullahi Wabarakatuh...” jawabku panjang. Perasaan kagum kembali muncul pada anak berusia 10 tahun itu.
  Jam 9 kurang 2 menit! Aku menginjak gas dalam-dalam. 2 menit? Mana sempat ke kampus dalam waktu 2 menit. Siap-siap mau ngebut, ada becak di depan mobilku. Sial! Mana jalannya sempit lagi. Aku terpaksa mengikuti becak yang lambat itu hingga sampai ke persimpangan. Waktuku terbuang 5 menit untuk keluar dari jalan sempit itu! Arrrrrgggghhhh.... Satu kesimpulan yang harus aku terima adalah, AKU SUDAH PASTI TELAT! DAN NILAIKU??? Oh No!!!

***

  Pulang dari kampus, aku mengutuki nasibku hari ini. Ah, gara-gara telat 13 menit, tutorialku berantakan. Aku bingung mau nyalahin siapa. Humaira si anak kecil yang sopan dengan pipi merahnya? Atau Paman Becak yang ngayuh becaknya kaya siput lagi encok? Arrrrgggghhh... Yang salah itu ya aku sendiri. Kenapa juga nyetir mobil nggak hati-hati. Kacau deh jadinya. Aku langsung beristighfar dalam hati, sedari tadi bawaannya mengeluh terus.
  Aku masih kepikiran sama Humaira, rasanya aku sudah pernah lihat dia, tapi kapan ya? Ah, mungkin hanya perasaanku saja. Aku baru saja keluar dari pintu gerbang kampusku dan sekilas aku melihat seorang anak kecil di seberang jalan sana, dia menengok kanan-kiri hendak menyeberang jalan. Itu Humaira! Pekikku dalam hati, mau ngapain ya dia? Rasanya ingin keluar mobil dan menghampirinya, tapi helooooo. Aku sudah berada di pintu gerbang kampus, jalanan lumayan padat dan aku ada janji dengan mama mau mengantar beliau ke minimarket. Ya sudahlah, semoga lain kali bisa ketemu lagi dengan anak itu.

***

  “Ah, gilaaaa! Stetoskopku udah longgar nih, susah banget diputar,” Linda menggerutu di sebelahku.
  Aku hanya tersenyum mendengar keluhannya, entahlah aku sedang malas menimpalinya. Kulihat teman-temanku duduk di sana-sini menunggu dengan bosannya. Ruangan skill lab masih dipakai kakak tingkat, terpaksa kami menunggu di luar karena belum bisa masuk.
  Kuedarkan pandangan ke arah taman, ada dua orang anak kecil yang sedang berlari-lari. Tampaknya sepasang adik kakak, kupicingkan lagi mataku. Humaira? Yap, salah satu dari anak itu adalah Humaira, tidak salah lagi. Dia berlari ke arah ruang skill lab, kemudian menaiki tepi dinding hingga ia bisa mengintip melalui jendela yang tirainya sedikit agak terbuka. Diam-diam dia mengamati kakak-kakak tingkat yang sedang belajar menginjeksi tangan manekin, mulutnya ternganga seolah-olah ingin melihat dari dekat, menyiratkan rasa ingin tahu yang amat besar.
  Ragu kupanggil namanya, takut teman-teman yang lain terganggu karena teriakanku. Kuhampiri anak itu, “Hey, Humaira!”
  Dia terkejut akan kehadiranku yang tiba-tiba, refleks dia menurunkan kakinya dari tepi dinding, mengatupkan bibirnya perlahan. Perlu empat sampai lima detik untuk mendengar jawaban dari sapaanku.
  “Kak Syi...kak Syifa??? Kak Syifa kan???” jawabnya ragu. Sepertinya dia sudah lupa denganku, atau mungkin gugup ketahuan mengintip ruang skill lab. Aku hanya tertawa ringan dan mengangguk.
  “Ngapain di sini, De?”
  Zzzzzzzttt... Entah kenapa aku baru menyadari kalau Humaira adalah anak kecil yang beberapa kali kulihat bermain di taman kampus pada sore hari. Pantas saja, wajahnya tampak familiar di mataku. Ternyata Humaira anak dari Bapak Udin, penjaga parkir di kampusku.
  “Saya hobi loh kak, ngeliatin kakak-kakak praktik di ruangan itu,” dia bercerita sambil melirik ke arah ruang skill lab.
  “Kak, itu stetoskop ya?” Humaira menunjuk benda yang ada di dalam saku jas labku.
  “Hmm, iya. Memangnya kenapa, Ra?” kutatap wajah anak itu sambil mengeluarkan stetoskop dari saku jas lab.
  “Saya penasaran sama alat itu, mau nyoba gimana sih rasanya?” jawabnya polos
  “Hahaha. Kayak permen aja, mau dicobain rasanya. Gampang, nanti kakak ajarin. Kamu mau jadi dokter ya, Ra?” tanyaku.
  “Ya, sangat ingin kak,” jawabnya antusias, dari matanya saja aku bisa melihat kekuatan mimpi yang begitu besar. Aku tersenyum mendengar ketegasan akan mimpinya.
  “Tapi...,” lanjutnya.
  “Syifaaaaaaa... Kelompok 4 masuuuuk, dokternya sudah datang tuh,” Rayda berteriak ke arahku.
  “Ra, maaf ya. Kakak duluan, sudah disuruh masuk tuh,” aku bergegas meninggalkan Humaira, dia hanya menjawab dengan anggukan diiringi seringai khas anak kecil.
“Oh iya, nanti kalau sudah selesai skill lab, kakak ajarin deh cara makai stetoskop. Daaah!” teriakku sambil berlari. Sempat kulihat dia berdiri dan menjawab, “Oke kak!” dengan senyum penuh kegembiraan.

***

  Kusapu keringat yang tertahan di alisku, matahari memang semangat sekali memancarkan sinarnya siang ini. Satu jam berada di dalam ruang skill lab membuatku hampir mati kepanasan. AC di ruangan skill labku rusak, hanya buku blok yang menjadi harapan satu-satunya untuk dikibaskan. Untungnya instruktur kelompokku ada urusan mendadak, jadi kelompokku selesai duluan dibanding kelompok yang lain. Syukurlah, kami terbebas dari ruangan yang panas itu. Aku berpikir, ruangan itu saja panasnya sudah minta ampun, apalagi neraka?
  Jas lab yang sudah mulai kotor kulipat sembarang, jilbab yang lekukannya mulai miring ke sana kemari kuratakan dengan jari-jariku. Hampir saja aku memasukkan stetoskop ke dalam tas kalau saja aku tidak ingat, aku ada janji dengan Humaira. Tanpa pikir panjang, aku langsung menuju taman, berharap dia masih ada di sana.
  Nihil, Humaira sudah tidak berada di taman. Hanya ada beberapa mahasiswa yang sedang duduk-duduk di bangku taman sambil ‘berkaca’ di laptop masing-masing, maklum di taman ini ada hotspotnya. Mungkin Humaira sudah pulang, pikirku. Aku kemudian mengambil langkah menuju tempat parkir, dan aku baru menyadari sesuatu. Ah, kenapa aku tidak berpikir dari tadi? Kulihat Humaira sedang mengintip ruang skill lab dari balik jendela. Hahaha. Sepertinya mengintip ruang skill lab adalah kegiatan yang mengasyikkan buat Humaira dan semestinya aku sadar dari tadi ketika mencarinya.
  “Humaira, dooooor!” sapaku mengejutkannya.
  “Eh, kak Syifa,” kali ini dia tidak kaget seperti sebelumnya. Mungkin sudah familiar dengan suaraku.
  Kami sepakat untuk ‘berdiskusi’ di taman, tak kuhiraukan pandangan heran mahasiswa-mahasiswa yang ada di sana yang menyiratkan, “Kok main sama anak kecil?”. Kujelaskan semua yang kuketahui tentang stetoskop, Humaira mendengarkan dengan antusias. Stetoskop yang semenjak tadi berada di jemariku, kini sudah berpindah ke tangan Humaira. Dengan ragu, dia memasangnya ke telinga sesuai dengan penjelasanku. Agak lama memang, berhubung telinganya sama seperti telingaku yang juga tertutup oleh jilbab. Yap, Humaira, gadis kecil berjilbab, si ukhti kecil.
  Setelah ngobrol ngalor-ngidul cukup lama, akhirnya Humaira pun izin pamit pulang duluan. Kuputuskan untuk meminjamkan stetoskopku untuknya, setelah mendengar cerita bahwa ia ingin sekali mendengarkan detak jantung adik, ibu dan ayahnya di rumah. Lagipula aku masih punya stetoskop lain di rumah. Jadi tidak masalah jika aku meminjamkan pada Humaira barang beberapa hari.
  Muka Humaira nampak ragu namun senang, kemudian dia meraih tanganku dan menciumnya. “Makasih, kak. InsyaAllah Humaira kembalikan besok, nanti kita main lagi ya, kak. Assalamu’alaykum,” ucapnya sambil menyunggingkan senyum, kemudian berlari kecil meninggalkan taman.
  Aku menjawab salamnya dengan lirih. Subhanallah, anak itu benar-benar luar biasa. Dia tak pernah ragu bermimpi, tadi dia sempat bercerita tentang impiannya menjadi dokter. Walaupun dia sadar, dia hanya seorang anak dari paman parkir. Tapi dia akan berusaha belajar dengan rajin biar bisa jadi dokter, begitu ungkapnya. Dan jilbab di kepala mungil itu, selalu menutupi rambutnya yang entah seperti apa bentuknya. Semenjak aku melihatnya di kampus, saat menabraknya dan sampai detik ini aku selalu melihat Humaira dengan jilbabnya. Ah, aku jadi malu dengan diriku sendiri, saat seusia Humaira mana pernah aku begitu. Disuruh memakai jilbab ke sekolah saja aku malas. Kecuali saat ada acara peringatan Maulid maupun Isra Mi’raj di sekolah, itupun aku sangat tidak betah memakainya lama-lama, gerah, kataku dulu. Sekarang aku mulai mengerti, betapa indahnya Islam mengatur kewajiban tersebut.
  Tak betah duduk sendirian di taman, aku pun bergegas pulang. Aku baru sadar bahwa aku belum sempat makan dari tadi pagi. Perutku keroncongan menyanyikan lagu Bengawan Solo seolah-olah sedang demo minta makan. Baru sampai di gerbang kampus, aku melihat Humaira yang sedang menyeberang jalan sambil menggenggam stetoskopku dengan erat. Di seberang jalan sudah ada Pak Udin, menemani adik Humaira yang sedang jajan di warung. Tiba-tiba ada sebuah motor yang melaju dengan sangat kencang dari arah sebelah kanan. Tak mengindahkan ada anak kecil yang sedang menyeberang  jalan dengan hati-hati. Dalam hitungan seper-sekian detik, terdengar suara tabrakan dan teriakan yang menyatu menjadi satu. Semuanya tampak begitu cepat. Motor itu terus melaju dengan cepat, tanpa berhenti sedikit pun. Anak kecil itu terhempas ke arah pembatas jalan, darah segar merembes dari kepalanya yang terbalut jilbab. Kulihat Pak Udin berteriak dan berlari ke arah gadis kecil itu, sambil beristighfar. Aku arahkan mataku ke motor yang masih melaju dengan cepatnya. Aku syok, astaghfirullah. “Humaira!” jeritku dalam hati. Bibirku kelu, syarafku benar-benar mati. Aku merasa sedang menonton sebuah film layar lebar yang tampak begitu nyata. Ya, ini bukan film, ini nyata!
  Kupaksakan kakiku yang tremor untuk turun segera dari mobil. Orang-orang berkerumun mengelilingi Humaira yang berlumur darah. Seketika kulihat stetoskopku masih berada di tangannya yang sudah tergeletak di aspal jalanan. Terbayang lagi mimpi anak kecil itu dan harapannya yang membuncah. Yaa Rabb, tolong selamatkan Humaira! Pekikku dalam hati. Mataku panas, dadaku berdebar, napasku sesak, kakiku bergetar hebat dan tiba-tiba semuanya jadi gelap.

***

(Nisrina Naflah)

0 comments:

Posting Komentar

Mohon komentarnya...